Quantcast
Channel: Muhammad Qul Amirul Hakim
Viewing all 343 articles
Browse latest View live

Dialog Panjang Syeikh Sa’id Ramadhan Al-Buthi & Syeikh Al-Albani

$
0
0
sumber : Facebook


ADA sebuah perdebatan yang menarik tentang ijtihad dan taqlid, antara Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, seorang ulama Ahlussunnah wal Jama’ah di Syria, bersama Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, seorang tokoh Wahhabi dari Yordania.

Syaikh al-Buthi bertanya: “Bagaimana cara Anda memahami hukum-hukum Allah, apakah Anda mengambilnya secara langsung dari al-Qur’an dan Sunnah, atau melalui hasil ijtihad para imam-imam mujtahid?”

Al-Albani menjawab: “Aku membandingkan antara pendapat semua imam mujtahid serta dalil-dalil mereka lalu aku ambil yang paling dekat terhadap al-Qur’an dan Sunnah.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Seandainya Anda punya uang 5000 Lira. Uang itu Anda simpan selama enam bulan. Kemudian uang itu Anda belikan barang untuk diperdagangkan, maka sejak kapan barang itu Anda keluarkan zakatnya. Apakah setelah enam bulan berikutnya, atau menunggu setahun lagi?”

Al-Albani menjawab: “Maksud pertanyaannya, kamu menetapkan bahwa harta dagang itu ada zakatnya?”

Syaikh al-Buthi berkata: “Saya hanya bertanya. Yang saya inginkan, Anda menjawab dengan cara Anda sendiri. Di sini kami sediakan kitab-kitab tafsir, hadits dan fiqih, silahkan Anda telaah.”

Al-Albani menjawab: “Hai saudaraku, ini masalah agama. Bukan persoalan mudah yang bisa dijawab dengan seenaknya. Kami masih perlu mengkaji dan meneliti. Kami datang ke sini untuk membahas masalah lain”.

Mendengar jawaban tersebut, Syaikh al-Buthi beralih pada pertanyaan lain: “Baik kalau memang begitu. Sekarang saya bertanya, apakah setiap Muslim harus atau wajib membandingkan dan meneliti dalil-dalil para imam mujtahid, kemudian mengambil pendapat yang paling sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah?”

Al-Albani menjawab: “Ya.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Maksud jawaban Anda, semua orang memiliki kemampuan berijtihad seperti yang dimiliki oleh para imam madzhab? Bahkan kemampuan semua orang lebih sempurna dan melebihi kemampuan ijtihad para imam madzhab. Karena secara logika, seseorang yang mampu menghakimi pendapat-pendapat para imam madzhab dengan barometer al-Qur’an dan Sunnah, jelas ia lebih alim dari mereka.”

Al-Albani menjawab: “Sebenarnya manusia itu terbagi menjadi tiga, yaitu muqallid (orang yang taklid), muttabi’ (orang yang mengikuti) dan mujtahid. Orang yang mampu membandingkan madzhab-madzhab yang ada dan memilih yang lebih dekat pada al-Qur’an adalah muttabi’. Jadi muttabi’ itu derajat tengah, antara taklid dan ijtihad.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa kewajiban muqallid?”

Al-Albani menjawab: “Ia wajib mengikuti para mujtahid yang bisa diikutinya.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Apakah ia berdosa kalau seumpama mengikuti seorang mujtahid saja dan tidak pernah berpindah ke mujtahid lain?”

Al-Albani menjawab: “Ya, ia berdosa dan haram hukumnya.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa dalil yang mengharamkannya?”

Al-Albani menjawab: “Dalilnya, ia mewajibkan pada dirinya, sesuatu yang tidak diwajibkan Allah padanya.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Dalam membaca al-Qur’an, Anda mengikuti qira’ahnya siapa di antara qira’ah yang tujuh?”

Al-Albani menjawab: “Qira’ah Hafsh.”

Al-Buthi bertanya: “Apakah Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja? Atau setiap hari, Anda mengikuti qira’ah yang berbeda-beda?”

Al-Albani menjawab: “Tidak. Saya hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Mengapa Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja, padahal Allah subhanahu wata’ala tidak mewajibkan Anda mengikuti qira’ah Hafsh. Kewajiban Anda justru membaca al-Qur’an sesuai riwayat yang dating dari Nabi Saw. secara mutawatir.”

Al-Albani menjawab: “Saya tidak sempat mempelajari qira’ah-qira’ah yang lain. Saya kesulitan membaca al-Qur’an dengan selain qira’ah Hafsh.”

Syaikh al-Buthi berkata: “Orang yang mempelajari fiqih madzhab asy-Syafi’i, juga tidak sempat mempelajari madzhab-madzhab yang lain. Ia juga tidak mudah memahami hukum-hukum agamanya kecuali mempelajari fiqihnya Imam asy-Syafi’i.

Apabila Anda mengharuskannya mengetahui semua ijtihad para imam, maka Anda sendiri harus pula mempelajari semua qira’ah, sehingga Anda membaca al-Qur’an dengan semua qira’ah itu. Kalau Anda beralasan tidak mampu melakukannya, maka Anda harus menerima alasan ketidakmampuan muqallid dalam masalah ini. Bagaimanapun, kami sekarang bertanya kepada Anda, dari mana Anda berpendapat bahwa seorang muqallid harus berpindah-pindah dari satu madzhab ke madzhab lain, padahal Allah tidak mewajibkannya. Maksudnya sebagaimana ia tidak wajib menetap pada satu madzhab saja, ia juga tidak wajib berpindah-pindah terus dari satu madzhab ke madzhab lain?”

Al-Albani menjawab: “Sebenarnya yang diharamkan bagi muqallid itu menetapi satu madzhab dengan keyakinan bahwa Allah memerintahkan demikian.”

Syaikh al-Buthi berkata: “Jawaban Anda ini persoalan lain. Dan memang benar demikian. Akan tetapi, pertanyaan saya, apakah seorang muqallid itu berdosa jika menetapi satu mujtahid saja, padahal ia tahu bahwa Allah tidak mewajibkan demikian?”

Al-Albani menjawab: “Tidak berdosa.”

Syaikh al-Buthi berkata: “Tetapi isi buku yang Anda ajarkan, berbeda dengan yang Anda katakan. Dalam buku tersebut disebutkan, menetapi satu madzhab saja itu hukumnya haram. Bahkan dalam bagian lain buku tersebut, orang yang menetapi satu madzhab saja itu dihukumi kafir.”

Menjawab pertanyaan tersebut, al-Albani kebingungan menjawabnya.

Demikianlah dialog panjang antara Syaikh al-Buthi dengan al-Albani, yang didokumentasikan dalam kitab beliau al-Lamadzhabiyyah Akhthar Bid’ah Tuhaddid asy-Syari’at al-Islamiyyah. Tentu saja mengikuti madzhab para ulama salaf, lebih menenteramkan bagi kaum Muslimin. Keilmuan, ketulusan dan keshalehan ulama salaf jelas diyakini melebihi orang-orang sesudah mereka.

Isu yang berbangkit pertemuan dengan Rasulallah dalam keadaan Yaqazah ( nyata atau bukan mimpi )

$
0
0
Menjawab tomahan mufti perlis.
Isu yang berbangkit pertemuan dengan Rasulallah dalam keadaan Yaqazah ( nyata atau bukan mimpi )
Para wali Allah kebiasaannya menerima didikan dari Rasulullah ﷺ melalui cara ini. Ini kerana mereka telah dibukakan hijab oleh Allah Ta'ala dapat melihat perkara ghaib seperti malaikat, ruh manusia terdahulu, syurga, neraka, iblis syaitan, dan lain-lain perkara ghaib.
Dalil Utama: Hadith Bukhari seperti di atas mafhumnya "Sesiapa yg melihatku didalam mimpi, maka dia akan bertemu dengan ku dalam jaga, sesungguhnya syaitan tidak boleh menyerupaiku"
Dalil pertama: Pertemuan Nabi Muhammad ﷺ dengan Nabi Musa a.s.
Ketika Rasulullah ﷺ dimikrajkan, Baginda dipertemukan dengan Nabi Musa a.s. sedangkan Nabi Musa telah wafat lebih 600 tahun sebelum kelahiran Nabi Muhammad. Oleh kerana besarnya peristiwa ini maka Allah rakamkan di dalam Al Quran dengan firman-Nya:
Maksudnya: “Maka janganlah kamu ragu tentang per temuanmu (dengan Musa ketika mikraj).” (Sajadah: 23)
Dalil kedua: Solat jemaah Nabi ﷺ dengan para rasul
Nabi Muhammad ﷺ bersembahyang berjemaah dengan para rasul di malam Israk sebelum baginda dimikrajkan.
Firman Allah:
Maksudnya: “Dan tanyalah orang-orang yang Kami utus sebelum kamu (wahai Muhammad) di antara para rasul Kami itu.” (Az Zukhruf: 45)
Di dalam Tafsir Al Qurtubi, juzuk ke-7, ms 5915 tercatat:

“Masalah bertanya kepada anbiya di malam mikraj, Ibnu Abbas meriwayatkan bahawa para anbiya bersembahyang dengan berimamkan Rasulullah ﷺ dalam tujuh saf. Tiga saf terdiri dari rasul-rasul. Manakala empat saf lagi untuk nabi-nabi. Pertemuan Nabi ﷺ ini adalah dalam keadaan jaga dan Nabi ﷺ telah bertanya sesuatu kepada mereka di malam itu.”
Dalil ketiga: Hadis dari Abu Hurairah r.a.
Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Aku dengar Nabi ﷺ bersabda:
Maksudnya: “Sesiapa yang melihatku di dalam mimpi, maka dia akan melihatku di dalam keadaan jaga dan syaitan tidak boleh menyerupai diriku.” (Sahih Bukhari, juzuk ke-9, m.s. 42)
Pengakuan Ulama Mengenai Yaqazah

Ibnu Arabi dalam kitabnya Fara’idul Fawa’id menulis:

“Adalah harus (khususnya bagi wali Allah yang diberi karamah) untuk bertemu dengan zat Nabi SAW baik rohnya atau jasadnya kerana Rasulullah SAW seperti lain-lain nabi dan rasul, semuanya hidup bila mereka dikembalikan (kepada jasadnya) serta diizinkan oleh Allah keluar dari kuburnya.”
Dalam kitab Al Khasoisul Kubra, Imam As Sayuti dalam Syarah Muslim oleh Imam Nawawi menulis:
“Jikalau seseorang berjumpa Nabi ﷺ (dalam mimpi atau jaga), baginda menyuruh akan sesuatu perbuatan (sunat), melarang satu larangan, menegah atau menunjukkan suatu yang baik, maka tiada khilaf ulama bahawa adalah sunat hukumnya mengamalkan perintah itu.”

PERSOALAN KEHIDUPAN SEHARIAN YANG DIJAWAB OLEH AL-QURAN

$
0
0
Assalamu'alaikum,



1-KENAPA AKU DIUJI? 


29:2
Sahih International
Do the people think that they will be left to say, "We believe" and they will not be tried?


29:3
Sahih International
But We have certainly tried those before them, and Allah will surely make evident those who are truthful, and He will surely make evident the liars.
Surat Al-Ankabut: Ayat 2-3 
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan (saja) hanya dengan mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya, Kami   telah   menguji   orang-orang   sebelum   mereka,   maka   sesungguhnya   Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia pasti mengetahui orang- orang yang dusta.”


2-KENAPA AKU TIDAK MENDAPATKAN APA YANG AKU IDAM-IDAMKAN? 


2:216
Sahih International
Fighting has been enjoined upon you while it is hateful to you. But perhaps you hate a thing and it is good for you; and perhaps you love a thing and it is bad for you. And Allah Knows, while you know not

Surah Al-Baqarah : Ayat 216
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah  mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”


3-KENAPA UJIAN SEBERAT INI? 

A286

Allah does not charge a soul except [with that within] its capacity. 
It will have [the consequence of] what [good] it has gained, and it will bear [the consequence of] what [evil] it has earned....

Surah Al-Baqarah :  ayat 286
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”



4-BAGAIMANA MENGHILANGKAN RASA KEKECEWAAN?


3:139
Sahih International
So do not weaken and do not grieve, and you will be superior if you are [true] believers.

Surah Al-Imran :  Ayat 139
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.”




5-SUNGGUH, AKU TAK DAPAT BERTAHAN LAGI


12:87
Sahih International
O my sons, go and find out about Joseph and his brother and despair not of relief from Allah . Indeed, no one despairs of relief from Allah except the disbelieving people."

Surah Yusuf : Ayat 87
“Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan orang-orang yang kafir."


6-BAGAIMANA AKU HARUS MENGHADAPI PERSOALAN HIDUP?




Surah Ali-Imran ayat 200 “Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di negerimu) dan bertaqwalah kepada Allah kamu beruntung.”


7-APA JAWAPANNYA?
Surah Al-Baqarah ayat 45-46”Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Dan (shalat) itu sungguh berat  kecuali  bagi orang-orang  yang khusyuk,  (yaitu)  mereka  yang  yakin, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada- Nya.”

8-SIAPA YANG MENOLONG DAN MELINDUNGIKU? 




Surah Ali-Imran: 173“Cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami dan Dia sebaik-baik pelindung.”


9-KEPADA SIAPA AKU BERHARAP? 



Surah At-Taubah ayat 129“Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Ilah selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal,dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy (singgasana) yang agung

Penceramah luar yang ingin berceramah di Johor perlu mendapat tauliah daripada Majlis Agama Islam Negeri Johor (MAINJ)

$
0
0


Penceramah luar yang ingin berceramah di Johor perlu mendapat tauliah daripada Majlis Agama Islam Negeri Johor (MAINJ) terlebih dahulu sebelum mengadakan ceramah agama di negeri berkenaan.

Sultan Johor Sultan Ibrahim Almarhum Sultan Iskandar bertitah walaupun penceramah tersebut bagus kerana pandai berhujah dan sering berceramah di televisyen, namun apabila dia tidak diberi tauliah, pasti ada yang tidak kena dengan pengajarannya.

"Cermin dahulu muka sendiri sebelum nasihat kepada orang lain. Kita akan mengawal mana-mana orang daripada mengajar agama Islam tanpa tauliah kerana ajaran sesat dan ceramah berbaur politik yang menjadi medan untuk mengata, memfitnah dan mencaci orang lain akan hanya mengelirukan masyarakat Islam dan meruntuhkan perpaduan rakyat," titah baginda.

Sultan Ibrahim bertitah demikian pada Majlis Perasmian Tilawah al-Quran Peringkat Negeri Johor Ke-60 di Dataran Tanjung Emas malam tadi.

"Dalam Perlembagaan Persekutuan, jelas memperuntukkan agama Islam di bawah bidang kuasa negeri dan sultan adalah ketua agama di negeri masing-masing. Dalam Undang-undang Tubuh Kerajaan Johor 1895 diperuntukkan dengan jelas Sultan adalah ketua agama bagi negeri Johor Darul Takzim.

"Tapi sejak kebelakangan ini, ada pihak yang suka mencampuri kuasa agama di negeri-negeri sedangkan mereka hanya mempunyai bidang kuasa di negeri masing-masing," titah baginda.

Turut berangkat ke majlis itu ialah Permaisuri Johor Raja Zarith Sofiah Almarhum Sultan Idris Shah dan Menteri Besar Johor Datuk Seri Mohamed Khaled Nordin.

Sultan Ibrahim bertitah amalan yang sekian lama diamalkan di Johor seperti Maulidur Rasul, bacaan doa awal dan akhir tahun, nisfu syaaban, bacaan Yasin dan tahlil pada malam Jumaat, membaca doa qunut dalam sembahyang subuh, membaca talkin dan sebagainya juga dipertikaikan dan dituduh sebagai bidaah yang membawa kepada balasan neraka di hari kiamat kelak.

"Saya ingin mengingatkan pihak tertentu yang mempunyai pandangan berbeza supaya tidak mencampuri urusan agama di Johor kerana perbuatan itu akan menjadikan umat Islam keliru dan berpecah belah. Umat Islam di Johor tetap dengan pegangan Ahli Sunnah Wal Jamaah.

"Semua negeri mempunyai majlis agama masing-masing yang ada kuasa dan tanggungjawab untuk mengawal selia serta memastikan perjalanan hal ehwal agama Islam di negeri masing-masing supaya berjalan dengan baik, teratur dan harmoni.

"Tidak perlulah orang luar campur tangan dan sibuk memberi ulasan seakan menunjuk pandai sangat.

"Peranan seorang mufti dalam sesebuah negeri adalah untuk mengeluarkan fatwa dan menjelaskan mengenai hukum Islam hanya untuk negeri berkenaan.

"Duduklah diam-diam di negeri sendiri dan jangan jaga tepi kain orang lain," titah baginda.

Sultan Ibrahim bertitah al-Quran hendaklah ditafsirkan oleh mereka yang pakar dan mahir dalam bidang tafsir kitab suci itu bagi mengelakkan ia disalah tafsir sewenangnya.

"Kita mestilah belajar dengan guru agama atau alim ulama yang diiktiraf oleh pihak berkuasa agama yang sudah menyiasat latar belakang guru dan penceramah yang betul berdasarkan tauliah yang diberikan.

"Untuk mendalami al-Quran dan ajaran Islam, kita tidak boleh hanya merujuk kepada Google, YouTube dan Facebook semata-mata atau johbulat-bulat maklumat yang disebarkan di media sosial.

"Memang benar urusan dakwah itu boleh dilakukan sesiapa sahaja, tetapi di Johor ini, kita ada undang-undang untuk mengawal pendakwah yang boleh mengelirukan dan tidak sehaluan dengan cara kita," titah baginda.

- Bernama

Jual-Beli Kucing : Antara ASWJ dan 'ILMU'

$
0
0

PENDAPAT 'ILMU'

sumber: http://www.sinarharian.com.my/nasional/islam-haramkan-jual-beli-kucing-1.489637

SHAH ALAM - Pengerusi Jawatankuasa Kerja Himpunan Ulama Muda Malaysia (Ilmu), Dr Fathul Bari Mat Jahaya memberitahu ramai di kalangan masyarakat Islam tidak mengetahui bahawa hukum jual beli kucing adalah haram.

Menerusi rakaman video programnya, Fokus Kitab Ahli Sunnah (Fokas)  Fathul yang juga merupakan Exco Pemuda Umno berkata, larangan itu adalah berdasarkan hadis Nabi Muhammad S.A.W.

"Ini contoh mungkin mengejutkan kita, tapi memang betul pun dalam Hadis, nabi larang jual beli kucing, jadi kita perlu mengelak berurus niaga dalam hal ini," katanya.

Dalam pada itu, katanya orang Islam dibolehkan untuk membela haiwan tersebut cuma larangan itu hanya ke atas urusan jual beli haiwan itu sahaja.

"Soal kita hendak bela, hendak jaga, hendak ambil tepi jalan ambillah," katanya.

Katanya lagi, larangan ini adalah perintah ALLAH, jadi apa yang perlu kita lakukan adalah cuma mentaati perintahNYA.

"Kenapa dilarang, apa masalahnya? Ini bukan soal kita suka atau tidak tetapi ia soal larangan daripada ALLAH," katanya.



PENDAPAT ULAMAK ASWJ

sumber :  http://www.rumahfiqih.com/fikrah/x.php?id=252&=jual-beli-kucing-haramkah.htm


Beberapa kawan bingung ketika mendapati hadits yang melarang jual-beli kucing berikut ini :
سَأَلْتُ جَابِرًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَالسِّنَّوْرِ فَقَال : زَجَرَ عَنْ ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم

Aku bertanya kepada Jabi bin Abdullah tentang jual beli sinnaur (kucing liar) dan anjing. Lalu beliau menjawab: Nabi SAW melarang itu. (HR. Muslim)

Padahal para sahabat banyak yang mencintai kucing, bahkan ada shahabat yang digelari 'bapaknya kucing', yaitu Abu Hurairah. Padahal nama aslinya Abdul-Rahman bin Shakhr al-Dausi (57 H). Namun digelari seperti itu lantaran beliau sering dikelilingi kucing, 
Ada juga riwayat shahih dari Nabi SAW bahwa beliau memasukkan kucing dalam kategori hewan yang suci, dan mengatakan bahwa ia adalah hewan yang sering ada di sekeliling kita. 

Tapi di sisi lain ditemukan juga bahwa ada hadits di atas yang secara terjemahan lahiriyahnya melarang kita untuk menjual kucing itu sendiri. Apalagi derajat hadits itu juga shahih karena terdapat di dalam kitab Shahih Muslim.

Lalu, bagaimana sebenarnya hukum jual beli kucing? Kalau haram, kenapa boleh dipelihara? 

Kalau haram dijual dengan alasan haram makan dagingnya, keledai juga diharamkan makan dagingnya, tapi jual belinya tidak dilarang? 

Bagaimana cara kita memahami hadits ini?

Ulama Empat Madzhab

Ulama Empat madzhab yaitu Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyyah dan Al-Hanabilah sepakat atas kebolehan jual-beli kucing. Dibolehkan karena memang kucing adalah hewan yang suci bukan najis, karena suci maka tidak ada larangan untuk memperjual belikannya.

Pernyataan ini tertulis dalam kitab-kitab mereka, seperti Bada’i al-Shana’i 5/142 (Al-Hanafiyah) karangan Imam al-Kasani (587 H), Hasyiyah al-Dusuqi 3/11 (Al-Malikiyah) karangan Imam al-Dusuqi (1230 H), Al-Majmu’ 9/230 (al-Syafi’iyyah) karangan Imam an-Nawawi (676 H), Al-Mughni 4/193 (Al-Hanabilah) karangan Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisy (620 H).

Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa kucing itu hewan suci, karena suci maka bisa dimanfaatkan. Dan dalam praktek jual-beli kucing, tidak ada syarat jual-beli yang cacat, semuanya terpenuhi. Sah jual belinya sebagaimana juga sah jual beli kuda atau juga baghl atau keledai.

Setelah sebelumnya beliau mengutip pernyataan Imam Ibnu al-Mundzir yang mengatakan bahwa mmemelihara kucing itu dibolehkan secara ijma’ ulama. Jadi jual belinya pun menjadi tidak terlarang. (Al-Majmu’ 9/230)

Pendapat Menyendiri (Madzhab Zahiri)

Pendapat berbeda dikeluarkan oleh madzhabnya Imam Daud Abu Sulaiman al-Zohiri, bahwa jual-beli kucing itu hukumnya haram. Ini dijelaskan oleh ulamanya sendiri, yaitu Imam Ibn Hazm (456 H) dalam kitabnya Al-Muhalla (9/13).

Tapi hukumnya bisa menjadi wajib jika memang kucing itu dibutuhkan untuk ‘menakut-nakuti tikus’. Dalam kitabnya dituliskan:

وَلاَ يَحِلُّ بَيْعُ الْهِرِّ فَمَنْ اُضْطُرَّ إلَيْهِ لأَذَى الْفَأْرِ فَوَاجِبٌ

Tidak dihalalkan jual beli kucing, (tapi) barang siapa yang terdesak karena gangguan tikus (di rumahnya) maka hukumnya menjadi wajib.

Artinya, walaupun madzhab ini mengharamkan, tapi keharamannya tidak mutlak. Ada kondisi dimana jual beli kucing menjadi boleh bahkan menjadi wajib hukumnya.

Alasan madzhab ini mengharamkan jual beli kucing, karena memang ada hadits yang melarangnya. Hadits itu diriwayatkan oleh Imam Muslim, bahwa Abu Zubair pernah bertanya kepada sahabt Jabir bin Abdullah:

سَأَلْتُ جَابِرًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَالسِّنَّوْرِ فَقَال : زَجَرَ عَنْ ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم

Aku bertanya kepada Jabi bin Abdullah tentang jual beli sinnaur (kucing liar) dan anjing. Lalu beliau menjawab: Nabi shallallhu a’alaih wa sallam melarang itu. (HR. Muslim)

Menurut Imam Ibnu Hazm, kata “Jazar”[جزر] dalam bahasa itu punya arti jauh lebih berat dibandingkan kata “Nahyu” [نهى] yang berarti melarang.

Imam Nawawi Menjawab Hadits

Ketika menjelaskan pendapat madzhabnya tentang kebolehan jual-beli kucing, Imam Nawawi juga memaparkan pendapat yang melarang beserta dalil dari hadits yang dipakainya. Beliau menjawab bahwa haditsnya memang shahih tapi maksudnya bukan larangan secara mutlak.

Dalam kitabnya (al-Majmu’ 9/230) beliau menyanggah dalil ini dengan argumen:

جَوَابُ أَبِي العباس بن العاص وَأَبِي سُلَيْمَانَ الْخَطَّابِيِّ وَالْقَفَّالِ وَغَيْرِهِمْ أَنَّ الْمُرَادَ الهرة الوحشية فلا يصح بيعها لِعَدَمِ الِانْتِفَاعِ بِهَا

Jawaban Abu al-Abbas bin al-‘Ash dan juga Abu Sulaiman al-Khaththabiy serta al-Qaffal dan selainnya bahwa yang dimaksud [sinnaur] di situ adalah kucing liar atau hutan [al-wahsyi]. Terlarang jual belinya karena tidak ada manfaat.

Jawaban yang sama juga beliau katakan dalam kitabnya yang lain, yaitu Syarah Shahih Muslim (10/234) ketika menjelaskan hadits yang sedang kita bahas ini.

Jadi memang yang dilarang itu bukan kucing [الهرة], akan tetapi kucing liar atau hutan yang disebut dengan istilah sinnaur [سنور]. Sinnaur juga terlarang untuk dimakan karena termasuk dalam kategori hewan bertaring yang menyerang manusia. Dalam madzhab Asy-Syafi’iyyah juga yang terlarang itu jika kucing liar, kalau kucing peliharaan itu tidak terlarang jual belinya.

Toh kalau pun terlarang, pasti Rasululah SAW akan mengatakan dengan istilah al-hirrah juga, tidak dengan lafadz sinnaur. Pembedaan istilah ini juga menunjukkan bahwa kucing tidak satu jenis, dan perbedaan jenis, beda juga hukumnya. Karena memang secara bahasa sinnaur dan hirrah punya makna beda; liar dan tidak liar, buas dan tidak buas.

Wallahu a’lam.

Komen Tuan Guru berkenaan isu 16 orang penceramah yang tidak dibenarkan berceramah di Johor baru-baru ini?

$
0
0
sumber;  https://www.facebook.com/pondok.ledang


Alhamdulillah… akhirnya admin dapat jugak kesempatan untuk berbual-bual dengan syeikhuna Tuan Guru Syeikh Ibrahim Ibn Masran Al-Banjari hafizahullah, mengambilfaedah dan nasihat, serta berpeluang menemuramah syeikhuna tentang isu hangat seminggu dua ni yang berlaku di Negeri Johor.
Sebagaimana yang dijanjikan. Berikut ialah hasil temuramah kami dengan syeikhuna. Pesan admin, kalau boleh, kalam syeikhuna tu dibaca satu persatu dengan cermat.. Jom baca dengan tenang dan lapang dada.. Bismillah..
(Admin) : Apa komen Tuan Guru berkenaan isu 16 orang penceramah yang tidak dibenarkan berceramah di Johor baru-baru ini?
(Syeikhuna) : Masya Allah.. ana baca berita tentangnya dan rasanya tiada nak komen apa-apa. Sudah ramai orang yang bercakap tentangnya.
(Admin) : Err.. Maksud kami, adakah wajar pihak Majlis Agama Islam Johor (MAIJ) bertindak sedemikian?
(Syeikhuna) : Ya akhi.. Itu dibawah bidang kuasa dia. Kita perlu faham.. Pada adatnya, setiap rumah, tanah, dan negeri, ada tuannya. Jangan kita masuk ke dalamnya, melainkan dengan rasa hormat dan menjaga adab. Jika tuan rumah itu bermazhab, maka raikanlah mazhabnya. Bukannya memgadu domba dan menghasut ahli rumah agar meninggalkan anutan mazhabnya. Bukan juga dengan menghina-hina dan melekeh-lekehkan mazhabnya. Kerana yang demikian itu tidak lain melainkan penghinaan dan perlekehan terhadap tuan rumah itu sendiri.
Siapa pun yang menjadi tuan rumah ketika itu, pasti tidak suka jika ada tetamu yang datang ke rumahnya kemudian membeberkan bicara yang mengandungi penghinaan dan perlekehan terhadap ahli keluarga, sanak saudara dan keturunannya, sehingga ahli rumah menjadi bermusuhan dan bertelagah. Maka jika tuan rumah itu tidak membenarkan tetamu itu bertandang ke rumahnya lagi, maka tindakan itu wajar. Dan itulah perkara lumrah yang berlaku pada adat kebanyakan orang kita.
Setiap rakyat yang mempunyai rumah, menjadi tuan di dalam rumahnya. Setiap pemimpin, menjadi tuan di dalam negeri yang mana ia memimpin rakyatnya. Dan setiap Sultan juga menjadi tuan kepada sekelian rakyat di dalam negeri dan jajahan takluknya. Sebagai tuan yang bertanggungjawab dan bermaruah bagi rumahnya atau negerinya, tentulah ia akan menjaga rumahnya dan negerinya dengan sebaik-baiknya. Apalagi jika ia bersangkutan dengan amanah dan tanggungjawab.
Maka tidak dianggap sebagai tuan rumah yg bertanggungjawab, jika sekiranya ia membawa masuk tetamu bahkan menyediakan ruang kepada tetamu itu untukmenghina ahli rumah dan anutan keturunannya.
Jadi, perkara ini lumrah dari sudut hukum adat. Bahkan dari sudut hukum syari'at pun memang ada dasarnya. Sebagai waliyul amri (pemerintah), mereka boleh menggunakan qaedah "Sadduz Zara'ei' / سد الذرائع" dalam masalah ini dengan tujuan untuk menutup dan menolak "mafsadah" yang besar yang mungkin bakal terjadi di dalam negerinya.
Dan bagi orang yang memerhatikan sejarah, di mana pun wujud kelompok yang berfahaman wahhabi, maka di situ akan berlaku perpecahan, permusuhan, pertikaian lidah, pentabdi'an (tuduhan sebagai ahli bida'ah), pengkafiran, bahkan juga pembunuhan. Ini semua adalah mafsadah.. Semoga Allah menyelamatkan kita dan mengampunkan dosa2 kita.
(Admin) : Tapi Tuan Guru, ada yang mengatakan penceramah tersebut bagus, dan kuliah-kuliahnya bermanfaat. Mengapa tidak dibiarkan saja supaya orang lain pun boleh ambil manfaat daripada mereka?
(Syeikhuna) : Jika benar bermanfaat, maka ambillah manfaat itu. Kita boleh mengambil manfaat, faedah, atau hikmah sekalipun daripada musuh kita. Itu tidak mengapa. Sabda Nabi Shallallahu 'alahi wasallam: 
الكلمة الحكمة ضالَّة المؤمن ، فحيث وجدها فهو أحق بها
"Hikmah itu merupakan barang pungutan orang mu'min, maka di mana saja ia bertemu, ia berhak mengambilnya".

Mengambil manfaat tidak salah. Tetapi berapa ramai orang awam yang tidak dapat membezakan antara manfaat dan mudharat? Sebagaimana ramainya orang tidak dapat membezakan antara kaca dan permata. Khususnya bagi kita yang hidup di akhir zaman. Zaman di mana diangkat dan ditariknya ni'mat furqaniyah, iaitu nikmat mampu membezakan antara haq dan bathil, membezakan yang benar dan yang salah, yang mana manfaat dan mudharat, dan sebagainya.
Terkadang kulitnya manfaat, tetapi isinya mudharat. Terkadang pucuknya mudharat, tetapi akarnya manfaat. Terkadang manfaat bagi kita, tetapi mudharat bagi saudara kita. Maka hal ini sangat berhajat kepada ahlinya yang dapat menunjuk jalan.
Jangan kita ukur berdasarkan nafsu semata-mata. Sebab itu kita perlu sentiasa minta kepada Allah Jalla wa 'Ala akan taufiq dan hidayah-Nya. Banyakkan berdoa :
اللهم أرنا الحق حقا وأرزقنا اتباعه وأرنا الباطل باطلا وأرزقنا اجتنابه
( "Ya Allah! Tunjukkanlah kepada kami yang benar itu sebagai kebenaran dan kurniakanlah kami kekuatan untuk mengikutinya, dan tunjukkanlah kepada kami yang bathil itu sebagai kebathilan dan kurniakanlah kami kekuatan untuk menjauhinya".)

(Admin) : Ada juga yang mengatakan tindakan MAIJ menyekat para penceramah yang bagus dan bermanfaat ini sebagai tindakan yang zalim. Apa pandangan Tuan Guru?
(Syeikhuna) : Mereka adalah waliyul amri (pemerintah). Mereka boleh bertindak di atas bidang kuasa mereka. Inilah waqi' yang perlu kita sedar dan fahami.
Kebaikan atau manfaat itu mungkin saja dapat diterima oleh 100 orang. Tetapi mudharat dan kesan bahayanya mungkin menimpa ke atas 1000 orang bahkan dapat mengkucar kacirkan kerukunan dan keharmonian masyarakat bagi sesebuah negeri itu.
Maka kita perlu faham apa yang lebih awla di sisi waliyul amri dalam menghadapi situasi ini. Di sana ada qaedah feqh : دفع المضار مقدم على طلب المنافع iaitu "menolak bahaya lebih diutamakan daripada menuntut manfaat."
Jadi dalam masalah ini, jika ditimbang dari sudut siasah syar'iyyah, tindakan mereka itu masih dianggap sah dan dibenarkan pada syarak. Ini ana kena amanah dengan ilmu. Ana perlu adil dalam menilai. Ana lihat tindakan MAIJ itu bukan disebabkan sentimen politik, bukan juga sembrono tanpa sebab musabab, bahkan ada sebab dan munasabah yang kuat. Dan lebih kepada nak mengawal negeri daripada dimasuki virus dan anasir yang boleh merosakkan aqidah dan muamalah rakyat. Mereka lebih kepada nak menjaga keharmonian rakyat khususnya umat Islam.
Kita perlu tahu, bahawa amalan dan pegangan umat Islam di negeri Johor ni sudah pun diwartakan sejak sekian lama. Dalam aqidah berpegang dengan Mazhab Asya'irah Maturidiyah. Dalam Syari'at atau feqah berpegang dengan Mazhab Syafie, dan menerima serta meraikan mazhab Hanafi, Hanbali dan Maliki. Sementara dalam Tasawuf pula bermazhabkan thoriqah Imam Junaid Al-Baghdadi dan juga thoriqah Imam Al-Ghazali. Ini suatu fakta.
Kalau kita mengaji qawaed feqh, di sana ada qaedah تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة "Tindakan pemerintah atau penguasa terhadap rakyat selalunya bergantung kepada pertimbangan kemashlahatan rakyat". Jadi, difahami daripada qaedah ini, penguasa mesti melihat terlebih dahulu dari sudut kemashlahatan rakyat dalam tindakan mereka. Penguasa tidak boleh bertindak atau melakukan sesuatu yang boleh merugikan rakyat atau memudharatkan rakyatnya. Menjaga agama dan keharmonian rakyat, itu jelas mashlahat yang utama.
Seperkara lagi, kadang-kadang kita mendengar mereka kata itu zalim ini zalim, sedangkan kita tidak sedar apakah makna zalim? Para ulamak sudah pun memberi ta'rif (definasi) zalim. Zalim ialah وضع الشيء في غير موضعه iaitu "meletakkan sesuatu TIDAK KENA pada tempatnya".
Tuan rumah tidak membenarkan si fulan masuk ke dalam rumahnya kerana tidak mahu si fulan itu mengkucar kacirkan rumahtangganya. Maka tindakan tuan rumah ini KENA pada tempatnya.
Seorang pemuda yang tidak bermazhab masuk ke dalam rumah orang yang bermazhab Syafie sambil sewenang-wenang menghina mazhab mereka, mengelirukan anutan mereka, dan menghasut ahli rumah yang lain supaya meninggalkan mazhab mereka tanpa ada perasaan hormat. Maka tindakan pemuda itu jelas tidak beradab, dan jelas TIDAK KENA pada tempatnya.
Dengan dua contoh ini, maka fikirlah ya akhi, siapakah yang zalim? Dalam ertikata siapakah yang melakukan pekerjaan yang TIDAK KENA PADA TEMPATNYA?
(Admin) : Ada juga yang mengatakan tindakan ini adalah disebabkan hasad dengki dari sesetengah pihak tertentu.
(Syeikhuna) : Ya, boleh jadi juga begitu. Kerana hasad dengki ini penyakit bathin yang boleh berlaku ke atas sesiapa pun, melainkan mereka yang ma'shum dan yang mahfuz. Dan hasad dengki ini biasanya berlaku sesama sekufu mereka. Seperti pelajar dengki dengan pelajar, peniaga dengki dengan peniaga, dato' dengki dengan dato', pelakon dengki dengan pelakon, ustaz dengki dengan ustaz, ahli politik dengki dengan ahli politik, dan begitulah seterusnya. Antum kiaskanlah..
Kata ulamak : ما يحسد المرء إلا من فضائله "Tidak dicemburui seseorang itu melainkan kerana memang ada kelebihan-kelebihan pada dirinya". Dan lazimnya seseorang itu dicemburui kerana ilmunya, keadaannya, keberaniannya, dan kepemurahannya.
Diriwayatkan juga bahawa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : إن كل ذي نعمة محسود "Sesungguhnya tiap-tiap orang yang mempunyai nikmat itu dihasad oleh orang akan dia".
Jadi, kalau nak taqdir kata ini disebabkan oleh hasad dengki, memang boleh taqdir begitu. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang sebenarnya.
Adapun kita, maka kita tidak boleh menghukum seseorang itu dengan apa yang ada di hatinya. Hasad dengki itu penyakit bathin, penyakit dalam hati seseorang. Kita tidak melihat apa yang ada dalam hatinya. Kita hanya dibenarkan menghukum dengan yang zahir sahaja.
Jadi, jika ingin bercakap dalam isu ini, maka lihat apa yang zahirnya. Yang zahir di sini adalah terdapatnya ucapan daripada mereka dari sudut boleh menimbulkan kekeliruan kepada orang awam. Dan atas dasar yang zahir ini, maka mereka dikenakan tindakan.
Adapun bagi mereka yang berhasad dengki itu, maka kita katakan, ittaqullah.. Takutlah kamu kepada Allah. Ingatlah pesan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:
لا تحاسدوا ولا تقاطعوا ولا تباغضوا ولا تدابروا وكونوا عباد الله إخوانا
"Janganlah kamu berdengki-dengkian, dan jangan kamu memutuskan silaturrahmi, dan jangan kamu membelakangkan setengah kamu akan setengah yang lain ketika berjumpa, dan jangan kamu berbenci-bencian, dan jadilah kamu itu hamba Allah yang berkasih sayang dan bersaudara".

Dan hendaklah kita berasa bimbang dan selalu ingat pada hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam : الحسد يأكل الحسنات كما تأكل النار الحطب "Hasad dengki itu memakan kebajikan sebagaimana api memakan membinasakan kayu api".
Jangan sampai pahala amal kebajikan kita binasa gara-gara sifat hasad dengki ini. Tinggalkan hasad dengki. Ini sifat mazmumah yang sangat keji. Jangan ada sifat ini dalam diri kita. Ini sifat kaum munafiq. Kata Fudhail bin 'Iyadh rahimahullah المؤمن يغبط والمنافق يحسد : "Orang mukmin itu yaghbit, dan orang munafiq itu yahsud". Bersaing secara sihat itu sifat orang beriman. Berhasad dengki itu sifat orang munafiq.
(Admin) : Secara pribadi, adakah Tuan Guru yakin kesemua 16 penceramah yang disekat itu adalah Wahhabi? Dan masih bolehkah kita mendampingi mereka.
(Syeikhuna) : Wallahu Ta'ala a'lam. Ana tidak mengenali mereka semua sekali. Tanyalah kepada yang mengenali mereka. Kata ulamak : لكل شيء علامة "Tiap-tiap sesuatu itu ada tandanya".
Adapun soalan masih bolehkah mendampingi mereka atau belajar dengan mereka. Maka ana teringat satu hadits riwayat Abu Nu'aim daripada Jabir radhiallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 
لا تجلسوا عند كل عالم إلا إلى عالم يدعوكم من خمس إلى خمس: من الشك إلى اليقين, ومن الرياء إلى الإخلاص, ومن الرغبة إلى الزهد, ومن الكبر إلى التواضع, ومن العداوة إلى النصيحة
"Janganlah kamu duduk di sisi sembarangan orang alim, kecuali orang alim yang mengajak kamu daripada lima perkara kepada lima perkara : iaitu daripada ragu kepada yaqin. Dan daripada riya' kepada ikhlas. Dan daripada gemar dunia kepada zuhud. Dan daripada sifat sombong kepada sifat tawadhu'. Dan daripada permusuhan kepada nasihat."

Hadits ini boleh dijadikan panduan. Jika ada sifat-sifat ini, maka duduklah dalam majlisnya. Ambillah faedah darinya. Mudah-mudahan Allah Azza wa Jalla mengurniakan ilmu dan berkah. Wallahu a'lam.
(Admin) : Terakhir Tuan Guru, mohon Tuan Guru berikan nasihat umum kepada kami khususnya yang berkait dengan isu ini.
(Syeikhuna) : Allahu Rabbi.. Nasihat pulak.. (Syeikhuna diam + tunduk).. Cukuplah tadi tu..
(Admin) : Sekarang ni ramai orang dah mula minat belajar agama.. Sana sini ada saja pengajian. Macam-macam pihak buat pengajian. Syiah pun buat, Wahhabi pun buat pengajian. Mungkin Syeikh ada nasihat atau tips terhadap fenomena ini. Terutama untuk orang awam.
(Seyikhuna) : Nasihatnya ialah.. pertama, tuntutlah ilmu fardhu ain dahulu sebelum ilmu lainnya. Kedua, carilah guru yang benar atau guru yang mursyid. Ketiga, jangan gaduh-gaduh dalam masalah khilafiyyah, kalau boleh jangan sibukkan diri kita dalam masalah ini. Keempat, selalu muhasabah diri. Sedar kemampuan diri. Maqam kita muqallid bukan mujtahid. Dan yang kelima, tuntutlah ilmu hanya kerana Allah..
(Admin) : Err.. Allah.. Kalau boleh, minta Tuan Guru syarahkan sikit supaya lebih jelas maksud nasihat tersebut..
(Syeikhuna) : Baiklah.. Nasihat ana buat diri ana dan antum, sebagai orang awam, atau sebagai penuntut ilmu mubtadi, hendaklah bersungguh-sungguh belajar ilmu fadhu ain. Ana pun lihat sekarang ni sudah ramai orang awam yang gemar menuntut ilmu. Alhamdulillah.. itu bagus. Tetapi sayangnya, sebahagian mereka itu menyibukkan diri menuntut ilmu yang bukan fardhu ain atas diri mereka, sedangkan ilmu fardhu ain itu mereka tidak pelajari. Kita kena tahu beza yang mana ilmu fardhu ain dan yang mana bukan fardhu ain. Dan ilmu fardhu ain ini mesti kita dahulukan sebelum ilmu fardhu kifayah.
Adapun ilmu fardhu kifayah, maka itu tidak dituntut kepada semua orang awam untuk mempelajarinya. Memada jika sudah ada wakil di setiap qariah kita yang pelajarinya, maka sudah terlepas dosa setiap muslim di qariah atau mukim mereka. Tujuan mengaji ilmu yang fardhu kifayah ni ialah supaya dengannya kita dapat menolak syubhah jika ada pihak yang mendatangkan syubhat dalam agama. Dan dengannya, kita dapat menguatkan agama dan memajukan urusan dunia.
Dan ilmu fardhu ain daripada ilmu usuluddin, ilmu feqah dan ilmu tasawwuf yang dimaksudkan itu, ialah ilmun Naafi'. Yakni ilmu yang benar-benar memberi manfaat di dalam akhirat nanti. Ilmu inilah yang wajib dituntut dan dicari oleh setiap muslim.
Kita biasa dengar hadits : طلب العلم فريضة على كل مسلم "Menuntut ilmu itu fardhu atas setiap muslim". Ulamak muhaqqiqin menyebutkan bahawa ilmu yang dikehendaki di sini, atau yang dimaksudkan dalam hadits ini, ialah ilmun Nafi'. Ilmu yang memberi manfaat di dalam akhirat.
Sifat ilmu Nafi' atau ilmu yang bermanfaat itu sekurang-kurangnya ada lima. Pertama: ما يزيد في الخوف من الله "Ilmu itu dapat menambahkan rasa takut kepada Allah". Dua, وفي المعرفة بعيوب النفس والعبادة "Ilmu itu dapat buat kita mengetahui keburukan-keburukan nafsu dan ibadah". Tiga, ويقلل الرغبة في الدنيا "Dengan ilmu itu, akan mengurangkan rasa cinta pada duniawi". Empat, ويزيد الرغبة في الآخرة "Dengan asbab ilmu itu, semakin bertambah rasa cinta terhadap akhirat". Dan yang kelima, ويدل على مكايد الشيطان "Ilmu itu dapat menunjukkan kepada kita pelbagai jenis tipudaya syaithan".
Inilah sifat ilmun Nafi'. Sifat ilmu yang bermanfaat untuk akhirat kita. Ilmu sebeginilah yang kita perlu utamakan. Dan ini termasuk adab yang penting bagi sesorang penuntut ilmu. Iaitu mendahulukan apa yang perlu didahulukan. Ulamak dahulu sangat menjaga adab ini. Tidak hairanlah kalau ilmu mereka berkat.. ilmu dan amal mereka meningkat seiring..
Maka jangan sia-siakan masa dan umur kita dengan ilmu yang tidak bermanfaat untuk akhirat kita. Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam sendiri minta berlindung dengan Allah daripada perkara ini. Antara doanya yang diajarkan kepada kita ialah اللهم إني أعوذ بك من علم لا ينفع "Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan-Mu daripada ilmu yang tiada memberi manfaat".
Itu (Nasihat) yang pertama. Kedua, hendaklah belajar dengan guru yang takut kepada Allah Azza wa Jalla. Yang jujur dan amanah dengan ilmu. Sebolehnya, carilah guru yang mursyid. Yang boleh membimbing kita kepada redha Allah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sudah beri isyarat :يكون في آخر الزمان عباد جهال وعلماء فساق "Akan terjadi pada akhir zaman, kebanyakan orang berbuat ibadah itu jahil, dan kebanyakan ulamak itu fasiq".
Kerana itulah Al-Imam Al-Ghazali rahimahullahu ta'ala membahagikan ulamak itu kepada dua jenis. Iaitu ulamak dunia dan ulamak akhirat. Supaya kita tidak tersalah dalam berguru, dan tidak tersilap dalam mengangkat ulamak.
Maka carilah guru atau ulamak yang benar, yang termasuk dalam golongan ulamak akhirat itu. Setengah daripada sifat ulamak akhirat itu disebutkan oleh Imam al-Ghazali rahimahullah dalam kitab Ihya' : 
أن تكون عنايته بتحصيل العلم النافع في الآخرة, والمرغب في الطاعات, مجتنبا للعلوم التي يقل نفعها ويكثر فيها الجدال والقيل والقال

"Bahawa dia sungguh-sungguh berhendakkan hasil ilmu yang memberi manafaat di dalam akhirat". والمرغب في الطاعات "Dan menggemarkan ia di dalam berbuat ibadah". مجتنبا للعلوم التي يقل نفعها ويكثر فيها الجدال والقيل والقال "Padahal ia menjauh daripada ilmu-ilmu yang sedikit manfaatnya di dalam akhirat, dan ilmu yang membanyakkan jidal, dan yang membanyakkan akan "Qiil", dan membanyakkan "Qaal"."
Maksud membanyakkan "Jidal" yakni membanyakkan berdebat, berbantah-bantah dan pertikaian. Maksud membanyakkan akan "Qiil" yakni banyak membawakan qaul atau perkataan ulamak itu ulamak ini, sehingga mengelirukan dan membawa kepada susah hati, yang akhirnya tidak menghasilkan faedah ilmu dan amal. Dan maksud membanyakkan "Qaal" yakni membanyakkan perkataan dirinya sendiri yang tidak memberi manfaat di akhirat.
Ringkasnya, ulamak akhirat itu bukan sahaja mengajarkan ilmu yang bermanfaat untuk akhirat, bahkan berkat ilmunya menjadikan kita gemar berbuat ibadah kepada Allah. Dan didikannya menyebabkan kita menjauhi jidal dan pertikaian yang tidak bermanfaat. Ajarannya pula tawadhu' dan meraikan mazhab masyarakatnya, bukan memeningkan atau mengelirukan masyarakat awam disebabkan banyaknya dia mendatangkan Qiil wa Qaal.
Dan lagi kata Imam Al-Ghazali rahimahullah : أن لا يكون مسارعا إلى الفتيا "Bahawa dia tidak tergesa-gesa memberikan fatwa". Yakni tidak gopoh. Ada perkara yang sudah jelas, maka boleh dijawab dengan jelas. Ada perkara yang masih meragukan, maka sebaiknya dia berkata : لا أدري "Aku tidak tahu". Jangan malu untuk berkata "aku tidak tahu" dalam perkara yang memang dia tidak tahu.
وإن سئل عما يظنه باجتهاد وتخمين, احتاط, ودفع عن نفسه, وأحال على غيره إن كان في غيره غنية 
"Dan jika ditanya suatu masalah yang hanya berdasarkan ijtihad atau perkiraan, hendaklah ia berhati-hati, sebolehnya dia menolak dan serahkan kepada orang lain, jika ada orang lain yang sanggup menjawabnya". Apa yang disebutkan ini, adalah antara sifat-sifat ulamak akhirat.

Jadi, jangan kita terlalu mudah teruja atau terlalu cepat terpedaya bila lihat seseorang itu kelihatan hebat, pandai berfatwa itu dan ini, semua masalah nak jawab, nak beri pandangan.. Atau banyak membawa qaul ulamak itu ulamak ini, sehingga terkadang terlajak kepada talfiq. Atau gemar berjidal dihadapan orang awam yang tidak mengerti..
Ini sengaja ana ingatkan dan nasihatkan pada diri ana sendiri khususnya. Sebab, segala pujian Allah dan Rasul-Nya terhadap ilmu dan kelebihan ilmu, maksudnya ialah tertentu hanya ilmu yang memberi manafaat di dalam akhirat, bukannya semua jenis ilmu. Dan segala pujian Allah dan Rasul-Nya terhadap alim ulamak, ialah tertentu kepada ulamak akhirat, bukannya kepada semua alim ulamak seperti yang kita sangkakan. Wallahul muwafiq wal hidayah.
Ketiga, orang awam atau penuntut ilmu yang awam, yang tidak takhasus, atau para asatizah, jangan terlalu gemar membahaskan perkara khilafiyah. Masa'ilul khilafiyah ini sebenarnya sudah ada jawapannya daripada para ulamak kita. Tanggungjawab kita ialah menghormati dan meraikan, bukannya menyelisihi dan merombakkan. Seorang yang bertaraf mujtahid pun tidak mengingkari ijtihad ulamak lain. Jadi, orang awam janganlah belajar atau diajar untuk melampaui batas.
Keempat, boleh dikatakan bahawa kita orang Johor yang ada sekarang ini, bahkan di Malaysia kita ini, kedudukan kita ni adalah muqallid. Bukannya mujtahid. Hatta para asatizah yang kita lihat hebat-hebat pun belum sampai kepada darjat mujtahid. Jadi, kita perlu sedar siapa kita dan apa kedudukan kita. Sudah ramai yang jatuh ke lembah binasa disebabkan tidak sedar kemampuan diri dan melampaui batas. Pepatah Arab kata : قدر لرجلك قبل الخطو موضعها "Ukurlah kakimu sebelum engkau melangkah". Pepatah Melayu kata : "Ukurlah baju di badan sendiri".
Kata khalifah Umar Abdul Aziz radhiyallahu 'anhu : رحم الله امرء عرف قدر نفسه "Allah merahmati orang yang tahu kadar dirinya". Dan kata ulamak : ما هلك امرؤ غرف قدر نفسه "Tidak binasa seseorang yang tahu kemampuan dirinya".
Ertinya, tidak rugi apa pun kalau kita selalu sedar siapa diri kita, apa kemampuan ilmu kita, hebat mana amal kita.. jika dibandingkan dengan imam-imam mazahib dan ulamak-ulamak terdahulu.
Dan yang terakhir, nasihat ana ialah carilah ilmu kerana Allah. Untuk membaiki ibadah kita kepada Allah. Dan untuk mencapai makrifatullah. Ingat baik-baik hadits Nabi ini. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
لا تعلموا العلم لتباهوا به العلماء, أو لتماروا به السفهاء, أو لتصرفوا وجوه الناس إليكم, فمن فعل ذلك, فهو في النار
"Jangan kamu berlajar ilmu kerana nak bermegah-megah dengannya akan ulamak, dan kerana nak berdebat kamu dengannya akan orang yang bodoh, dan kerana kamu nak memalingkan dengannya muka manusia kepada kamu. Maka barangsiapa berbuat akan yang demikian itu, maka ia diseksa di dalam api nereka".

Hadits ni jelas nak beritahu kepada kita semua. Bahawa jangan sampai kita belajar dengan tujuan nak tunjuk yang kita lebih hebat daripada ulamak yang lain. Kita mengaji hadits masalan (umpamanya), sebab nak tunjuk kepada ulamak lain yang kita lebih hebat daripada mereka. Kita mengaji sampai peringkat PHD masalan, sebab nak tunjuk pada tok guru lain yang kita lebih hebat daripada mereka. Maka siapa saja yang ada niat dan tujuan begini, istighfar cepat-cepat. Minta ampun dengan Allah. Bimbang kita ada PHD, kita alim hadits, tetapi dibakar di dalam neraka. Na'uzubillahi min zalik.
Dan hadits ini nak ajar kepada kita, bahawa jangan sampai kita mengaji ni, dengan tujuan nak berdebat dengan orang lain. Terutama berjidal dengan orang jahil. Belajar kitab itu, mengaji kitab ini, bukan nak baiki ibadahnya, tapi supaya ada modal nak guna buat berdebat dengan orang sufaha'. Maka siapa saja yang ada niat dan tujuan begini, istighfar cepat-cepat. Minta ampun dengan Allah. Perbetulkan semula niat. Bimbang kita jadi juara jidal, menang debat, tetapi dibakar di dalam neraka. Na'uzubillahi min zalik..
Dan hadits ini juga nak beritahu kepada kita, bahawa jangan sampai kita mengaji ni, kita belajar sana sini, kita ada banyak guru, kita ada banyak riwayat, banyak sanad, banyak ijazah, banyak PHD, dengan niat supaya orang akan muliakan kita. Supaya orang kagum kepada kita. Supaya ramai orang jadi pengikut kita. Maka siapa saja yang ada niat dan tujuan begini, istighfar cepat-cepat. Astaghfirullah.. Minta ampun pada Allah Ta'ala yang Maha Pengampun. Bimbang kita mulia di sisi manusia, tetapi hina di sisi Allah. Bimbang di dunia ini manusia jadi kagum kepada kita, tetapi di akhirat kelak, kita jadi bahan bakaran dalam neraka. Na'uzubillahi min zalik..
(Admin : Kulihat mata syeikhuna berlinang air.. tangannya menggigil mengusapi mata.. Kemudian syeikhuna menyambung katanya dengan nada perlahan dan tersedu-sedu.. )
Tok Tok Guru kita dahulu.. rahimahumullahu ta'ala rahmatan wasi'atan.. ada yang menulis di pintu gerbang pondok mereka.. ada yang tulis di mimbar masjid mereka.. sebuah hadits yang berbunyi.. من تعلم علما لغير الله فليتبوأ مقعده من النار "Barangsiapa yang mencari ilmu bukan kerana Allah, maka silalah ambil tempatnya di dalam neraka".. Mudah-mudahan jadi peringatan bagi mu'allim dan muta'allim..
(Allah… 
cry emoticon
 Admin pun bagi syeikhuna minum, dan tamatlah temuramah yang penuh ilmiyah berkah ini.. Allah.. )

Ya Allah.. Ampunkan kami, ampukan ibubapa kami, ampunkan guru-guru kami.. Pelihara kami dari fitnah akhir zaman.. Ya Allah.. Pelihara syeikh kami dan murabbi kami saiyidi Tuan Guru Syeikh Ibrahim Al-Banjari ..
Allahumma aameen… 
cry emoticon

Kalau nak sedekah tahlil boleh ke idak?

$
0
0

sumber : Facebook Abu Abdullah Yasin


Soalan:

Kalau nak sedekah tahlil boleh ke idak?



Sahih Bukhari 1299/7008: 
Dari 'Aisyah radliallahu 'anha bahwa ada seorang laki-laki berkata, kepada Nabi Shallallahu'alaihiwasallam: "Ibuku meninggal dunia dengan mendadak, dan aku menduga seandainya dia sempat berbicara dia akan bersedekah. Apakah dia akan memperoleh pahala jika aku bersedekah untuknya?". Baginda menjawab: "Ya, benar". [Sahih Bukhari 2554/7008; Sahih Muslim 3082/5362; Sahih Muslim 3083/5362; Bulughul Maram, I...bnu Hajar Al-Asqolani, Kitab Jual-beli#983]



Sahih Bukhari 5562/7008: 
Telah dikisahkan kepada kami Ali bin 'Ayasy telah dikisahkan kepada kami Abu Ghassan dia berkata; telah dikisahkan kepadaku Muhammad bin Al Munkadir dari Jabir bin Abdullah radliallahu 'anhuma dari Nabi sollallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Setiap perbuatan baik adalah sedekah."



Sahih Muslim 1181/5362: 
Telah dikisahkan kepada kami Abdullah bin Muhammad bin Asma` Adl Dluba`i telah dikisahkan kepada kami Mahdi yaitu Ibnu Maimun telah dikisahkan kepada kami Washil mantan budak Abu 'Uyainah dari Yahya bin 'Uqail dari Yahya bin Ya'mar dari Abul Aswad Ad Du`ali dari Abu Dzarr dari Nabi sollallahu 'alaihi wasallam bahwa beliau bersabda: "Setiap pagi dari persendian masing-masing kalian ada sedekahnya, setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, dan setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir sedekah, setiap amar ma'ruf nahyi mungkar sedekah, dan semuanya itu tercukupi dengan dua rakaat dhuha."



Sahih Muslim (1523/5362)
Telah dikisahkan kepada kami Abu Bakr dan Utsman -keduanya adalah anak dari Abu Syaibah- -dalam jalur lain- Dan telah dikisahkan kepadaku Amru An Naqid semuanya berkata, telah dikisahkan kepada kami Abu Khalid Al Ahmar dari Yazid bin Kaisan dari Abu Hazim dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah sollallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Talkinlah diantara kalian yang didatangi mati, Laa Ilaaha IllaLLah.”

-Dan telah dikisahkan kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah dikisahkan kepada kami Abdul Aziz Ad Darawardi -dalam jalur lain
- Dan telah dikisahkan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah dikisahkan kepada kami Khalid bin Makhlad telah dikisahkan kepada kami Sulaiman bin Bilal semuanya menggunakan isnad ini.


Sahih Muslim (1524/5362)
Telah dikisahkan kepada kami Abu Bakr dan Utsman -keduanya adalah anak dari Abu Syaibah- -dalam jalur lain- Dan telah dikisahkan kepadaku Amru An Naqid semuanya berkata, telah dikisahkan kepada kami Abu Khalid Al Ahmar dari Yazid bin Kaisan dari Abu Hazim dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah sollallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Talkinlah diantara kalian yang didatangi mati, Laa Ilaaha IllaLLah.”

MELAYU JOHOR

$
0
0
Tahun di cipta: 1988
Oleh : Allahyarham Datuk Usman Awang
Sasterawan Negara

Melayu Johor,
Telah terlalu banyak kita kehilangan,
Sawah ladang bertukar tangan,
Pekan dan bandar kita menumpang,
Teluk Belanga entah ke mana,
Yang tinggal hanyalah pakaian,
Sedarah sedaging hampir hilang,
Yang ada hanyalah setulang,
Selat Tebrau kian sempit,
Hati rindu jauh tergamit.

Di Johor,
Jawa itu Melayu,
Bugis itu Melayu,
Banjar itu Melayu,
Minangkabau memang Melayu,
Aceh dan Siak adalah Melayu,
Jakun dan Sakai lebih Melayu,
Arab dan Turki pekat Melayu,
Mamak dan Malbari jadi Melayu,
Malah mualaf bertakrif Melayu.

Melayu itu maknanya bijaksana,
Jika menipu pun bersopan,
Kurang ajarnya tetap santun,
Dajalnya cukup selamba,
Budi bahasa jangan dikira,
Beraninya cukup benar,
Tunduk bila bersalah,
Lembutnya cukup jantan,
Setia sampai ke kubur,
Biar mati adat jangan mati sahabat.

Anak Johor,
Luka di Tanjung Puteri,
Parutnya di Parit Raja,
Muka biar berseri,
Mulut biar berbahasa.

Berkelahilah cara Melayu,
Menikam dengan pantun,
Menyanggah dalam senyum,
Marahnya dalam tertawa,
Merendah bukan menyembah,
Meninggi bukan melonjak.

Watak Melayu menolak permusuhan,
Jiwa Melayu mengangkat persahabatan,
Kasih sayang kekeluargaan,
Ringan tulang saling bertolongan,
Jujur memaafkan ikhlas memberikan.

Berdamailah cara Melayu,
Silaturahim yang murni,
Di mulut sama di hati,
Maaf sentiasa bersahut,
Tangan di hulur bersambut,
Luka pun tidak lagi berparut.

Melayu Johor saudaraku yang dikasihi,
Dalam kekeruhan ini carilah kejernihan,
Dalam sengketa ini sambutlah perdamaian,
Sifat terpuji setiap insan,
Bermuafakat supaya berkat,
Bersaudara dunia akhirat,
Berikhtiar dengan tabah,
Kepada ALLAH berserah.

Tohmahan Terhadap Ulama Mazhab Syafi'i ( Sambungan Isu Sedekah Pahala )

$
0
0

Antara kritikan yang dilontarkan kepada ulama-ulama Syafi'i yang berpendapat boleh memberi sedekah pahala untuk si-mati ialah kononnya mereka membelakangi Imam al-Syafi'i dan tidak bertaklid kepadanya dalam isu ini kerana Imam al-Syafi'i mengatakan tidak sampai pahala kepada si-mati. Adakah ini benar? Sedangkan ada kenyataan jelas daripada Imam al-Syafi'i sendiri yang zahirnya bertentangan dengan apa yang dinukilkan daripada beliau. Iaitu kata Imam al-Syafi'i dalam kitab al-Umm:

وأحب لو قرئ عند القبر ودعي للميت. “

Dan aku suka kalau dibacakan (al-Quran) di sisi kubur dan didoakan untuk si mati”.

Imam al-Khallal meriwayatkan dalam kitabnya al-Qira’ah ‘inda al-Qubur daripada al-Hasan bin al-Sabbah al-Za‘farani: “Aku bertanya al-Syafi‘i tentang bacaan (al-Quran) di sisi kubur, lalu beliau menjawab: Tidak mengapa”.

Barangkali timbul persoalan, sekiranya pahala bacaan tersebut tidak sampai kepada si mati, mengapa Imam al-Syafi‘i membenarkan bacaan al-Quran di kubur? Ini tidak lain selain memberi maksud bahawa si-mati dapat memperolehi manfaat dengan bacaan al-Quran daripada orang yang hidup itu. Jika tidak, tentu ia hanya suatu amalan yang sia-sia dan tidak mungkin Imam al-Syafi‘i menggalakkan kepada sesuatu yang sia-sia seperti ini. Walaupun dikatakan yang masyhur daripada beliau ialah pahala bacaan al-Quran tersebut tidak sampai kepada si-mati.

Imam an-Nawawi, tokoh besar dalam Mazhab Syafi'i telah menukilkan dalam kitab-kitabnya dua pendapat Imam al-Syafi'i yang kelihatan bertentangan ini.

1) Kata Imam an-Nawawi dalam Riyad al-Salihin: “Kata al-Syafi'i rahimahullah: Disukai agar dibacakan di sisinya (si mati) sedikit daripada al-Quran. Jika mereka mengkhatamkan al-Quran keseluruhannya itu adalah baik.”

2) Kata Imam an-Nawawi dalam al-Azkar: “Kata al-Syafi'i dan ashab: Disukai agar mereka membacakan di sisinya (si mati) sedikit daripada al-Quran. Kata mereka: Jika mereka mengkhatamkan al-Quran keseluruhannya itu adalah baik. Telah kami riwayatkan dalam Sunan al-Baihaqi dengan isnad hasan, bahawa Ibnu ‘Umar RA menyukai agar dibaca di atas kubur sesudah pengebumian awal surah al-Baqarah dan akhirnya”.

3) Selang beberapa lembar dalam al-Azkar, Imam an-Nawawi menyebut pula: “Ulama berselisih tentang sampainya pahala bacaan al-Quran. Maka yang masyhur dari mazhab al-Syafi'i dan sekumpulan ulama bahawa ia tidak sampai. Manakala Ahmad bin Hanbal, sekumpulan ulama dan sekumpulan ashab al-Syafi'i berpendapat bahawa ianya sampai".

4) Kata al-Imam al-Nawawi dalam Fatawanya (hlm. 83): "Masalah: Adakah sampai kepada si-mati pahala apa yang disedekahkan untuknya, doa, ataupun bacaan al-Quran? Jawapan: Sampai kepadanya pahala doa dan pahala sedekah dengan IJMAK ULAMA. Dan mereka berselisih pula tentang pahala bacaan al-Quran. Maka kata Ahmad dan sebahagian ashab al-Syafi'i: Ia sampai. Manakala kata al-Syafi'i dan kebanyakan ulama: Tidak sampai".

5) Kata al-Imam al-Nawawi dalam Syarh Sahih Muslim (7/90): “Pendapat yang masyhur dalam mazhab kami (Imam al-Syafi'i) bahawa bacaan al-Quran untuk si mati tidak sampai pahalanya kepadanya. Manakala, kata sekumpulan ashab kami (al-Syafi'iyyah): Sampai pahalanya kepadanya. Ini juga pendapat Ahmad bin Hanbal".

6) Kata al-Imam al-Nawawi dalam kitab al-Majmu‘: “Disukai agar menunggu seketika di atas kubur selepas pengebumian, berdoa dan beristighfar untuk si mati. Ini telah dinyatakan oleh al-Syafi'i dan disepakati oleh ashab. Kata mereka: Disukai agar dibacakan di sisinya sedikit daripada al-Quran dan jika mereka mengkhatamkan al-Quran, itu adalah afdal (lebih baik)”.

Secara ringkas, meskipun Imam al-Syafi'i tidak jelas mengatakan bahawa memberi sedekah pahala dapat sampai kepada si-mati, namun beliau seperti yang jelas dalam kitabnya sendiri yang dapat kita faham daripadanya, berpendapat bahawa si-mati dapat memperoleh manfaat daripada amalan orang yang hidup. Bagi keluar dari sedikit kekeliruan ini, ulama Syafi'i telah menghuraikan dengan lebih lanjut dengan menyatakan bahawa kita perlu berDOA selepas bacaan al-Quran tersebut agar disampaikan pahalanya kepada si-mati, kerana DOA yang dipohonkan akan sampai kepada si-mati secara ijmak ulama. Kata Imam an-Nawawi dalam al-Azkar: “Pendapat yang dipilih ialah hendaklah pembaca mengucapkan selepas selesai daripadanya: Ya Allah, sampaikanlah pahala apa yang kubaca ini kepada si fulan, wallahu a‘lam”.

Menurut Syeikhul Islam Zakaria al-Ansari dalam Fath al-Wahhab: “Apa yang disebut sebagai pendapat yang masyhur dalam mazhab itu dimaksudkan sekiranya ia dibaca bukan di hadapan si mati dan tidak meniatkan pahala bacaannya kepadanya, atau ada meniatkannya tetapi tidak berdoa”. Jadi kata-kata Imam al-Syafi'i dalam kitab al-Umm: “Dan aku suka kalau dibacakan (al-Quran) di sisi kubur dan diDOAkan untuk si mati”, bermaksud jika kita tidak berDOA selepas bacaan al-Quran tersebut memohon agar disampaikan pahalanya kepada si-mati, maka ia tidak akan sampai kepada si-mati. Inilah maksud sebenar Imam al-Syafi'i, wallahu a‘lam.

Ini pun yang sebenarnya diamalkan oleh kebanyakan orang yang mengharuskan amalan tersebut, di mana mereka akan berDOA memohon agar disampaikan pahala amalan yang dilakukan kepada si-mati. Selain bacaan al-Quran, termasuk juga bacaan tahlil, zikir dan juga selawat. Ini berdasarkan dalil umum hadis sahih yang menyebut bahawa kalimah yang baik itu juga merupakan sedekah (الكلمة الطيبة صدقة). Dan pahala SEDEKAH juga sampai kepada si-mati secara ijmak ulama.

Kata Imam al-Qurtubi dalam al-Tazkirah: “Asal dalam bab ini ialah SEDEKAH yang tiada ikhtilaf padanya. Maka sebagaimana sampai kepada si mati pahalanya, maka demikian juga sampainya bacaan al-Quran, doa dan istighfar kerana semua itu adalah SEDEKAH. Sesungguhnya sedekah itu tidak terkhusus hanya dengan harta sahaja”. Sebab itu amalan dalam masyarakat kita ialah berdoa menyebut: “Pahala bacaan ini kita SEDEKAHkan kepada si fulan, si fulan...”.

Karya-karya ulama berkaitan isu ini

Para ulama telah membincangkan masalah ini secara panjang lebar berserta hujah-hujah dan dalil-dalil dalam banyak karya yang telah disusun secara khusus. Antara karya-karya ulama dari berbagai mazhab berkaitan dengan masalah ini, yang saya susun menurut kronologi kewafatan pengarangnya adalah sepertimana berikut;

1- (القراءة عند القبور) oleh al-Imam Abu Bakr Ahmad bin Muhammad bin Harun al-Khallal al-Hanbali (w. 311H).

2- (هدية الأحياء للأموات وما يصل إليهم من النفع والثواب على ممر الأوقات) oleh al-Imam ‘Ali bin Ahmad bin Yusuf al-Hakkari (w. 489H).

3- (كتاب صلات الأحياء إلى الأموات) oleh al-Imam ‘Abd al-Ghani bin ‘Abd al-Wahid al-Maqdisi al-Hanbali (w. 600H).

4- (انتفاع الأموات بإهداء التلاوات والصدقات وسائر القربات) oleh al-Imam Abu Ishaq Ibrahim bin al-Muzaffar Ibn al-Barni al-Harbi al-Mawsili al-Hanbali (w. 622H).

5- (نفحات النسمات في وصول الثواب إلى الاموات) oleh al-‘Allamah Syihabuddin Abu al-‘Abbas Ahmad bin Ibrahim al-Saruji al-Hanafi (w. 701H).

6- (رفع الأصوات في نفع الأموات) oleh al-‘Allamah Zainuddin Sarija bin Muhammad al-Malti (w. 788H).

7 (الكواكب النيرات في وصول ثواب الطاعات إلى الأموات) oleh al-‘Allamah Saaduddin Sa‘id bin Muhammad Ibn al-Diri al-Maqdisi al-Hanafi (w. 867H).

8- (قرة العين بالثواب الحاصل للميت والابوين) oleh al-Hafiz Syamsuddin Muhammad bin ‘Abd al-Rahman al-Sakhawi (w. 900H).

9- (رسالة في نفع مساعي الأحياء للأموات) oleh al-‘Allamah Awhaduddin ‘Abd al-Ahad al-Nawawi bin Mustafa bin Isma‘il bin Abi al-Barakat al-Siwasi (w. 1061H).

10- (القول البات في إيصال الثواب للأموات) oleh Syeikh Ibrahim bin Husain bin Ahmad Ibn Biri al-Hanafi, mufti Hanafi di Makkah (w. 1099H).

11- (القول السديد في وصول ثواب فعل الخيرات للاحياء والاموات بلا شك ولا ترديد) oleh Syeikh ‘Isa bin ‘Isa al-Sifati al-Hanafi al-Buhairi (masih hidup tahun 1131H).

12- (رسالة في لحوق ثواب القراءة المهداة من الأحياء إلى الأموات) oleh al-Imam Muhammad bin ‘Ali al-Syawkani (w. 1250H).

13- (إفادة الطلاب بأحكام القراءة على الموتى ووصول الثواب) oleh al-‘Allamah al-Sayyid Muhammad bin Ahmad bin ‘Abdul Bari al-Ahdal (w. 1298H).

14- “Pembantu Sekalian Orang Islam Dengan Harus Membaca al-Quran dan Sampai Pahalanya Kepada Sekalian Yang Mati” oleh al-‘Allamah Syeikh ‘Abdul Qadir bin ‘Abdul Muttalib al-Mandili (w. 1385H).

15- (إسعاف المسلمين والمسلمات بجواز القراءة ووصول ثوابها إلى الأموات) oleh al-‘Allamah Syeikh Muhammad al-‘Arabi bin al-Tabbani al-Maliki al-Jaza’iri (w. 1390H).

16- (توضيح البيان لوصول ثواب القرآن) oleh al-‘Allamah al-Sayyid ‘Abdullah bin al-Siddiq al-Ghumari (w. 1413H).

17- (الآيات البينات في وصول ثواب الطاعات والقراءة إلى الأموات) oleh Syeikh Ishaq ‘Aqil ‘Azzuz (w. 1415H).

18- (تحقيق الآمال فيما ينفع الميت من الأعمال أو هدايا الأحياء للأموات) oleh Dr. al-Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki al-Hasani (w. 1426H).

19- “Sampaikah Doa Amal Orang Hidup Untuk Yang Mati?” oleh Ustaz Salim bin Usman, Jakarta. Selesai ditulis pada tahun 1978.

20- (دفع الافتئات بجواز الجلوس للتعزية والقراءة للأموات) oleh Dr. ‘Isa bin ‘Abdullah bin Mani‘ al-Himyari.

21- “Sampaikan Pahala Kepada Si Mati” oleh Tuan Guru Hj. Yahya Zikri bin Alang Mat Piah, Telok Intan.

22- “Sampaikah Amalan Orang Hidup Kepada Arwah?” oleh Syeikh Dr. Muhammad Afifi al-Akiti, pensyarah di Universiti Oxford. Kitab kecil ini diberi kata-kata aluan oleh Mufti Perak, Sahibus Samahah Dato' Seri Hj. Harussani bin Hj. Zakaria.

23- “Tahlil dan Kenduri Arwah Tidak Haram” oleh Ustaz Dr. Zamihan Mat Zin al-Ghari.

24- “Benarkah Tahlilan & Kenduri Haram?” oleh Kiyai Muhammad Idrus Romli.

25- (إهداء ثواب قراءة القرآن للميت) oleh ‘Ali bin ‘Abd al-Rahman bin ‘Ali Dubais. Jami‘ah al-Iman: http://www.jameataleman.org/main/articles.aspx?article_no=1302

26- (قراءة القرآن الكريم يصل ثوابها للميت) Markaz al-Fatwa, Islam Web, Jabatan Dakwah dan Bimbingan Agama, Kementerian Wakaf dan Hal Ehwal Islam Qatar. http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=3406

27- Fatwa Dar al-Ifta’ al-Misriyyah, Mesir. http://www.dar-alifta.org/ViewFatwa.aspx?ID=3695 28- JAKIM, http://www.e-fatwa.gov.my/blog/hukum-mengadakan-majlis-tahlil 29- Fatwa-fatwa ulama yang mengharuskan dalam isu ini amatlah banyak sekali... Wallahu a‘lam.

# Berdasarkan penelitian, isu ini juga sebenarnya berasaskan prinsip saling bantu membantu antara satu sama lain dalam kalangan sesama saudara Islam, sebagaimana maksud firman Allah SWT: “Dan hendaklah kamu bertolong-tolongan dalam membuat kebajikan dan taqwa, dan janganlah kamu bertolong-tolongan dalam melakukan dosa dan pencerobohan” (Al-Ma’idah: 2). Perbahasan ini tentu sekali tidak berkaitan dengan orang-orang yang malas beramal ibadat semasa hidup di dunia dan hanya mengharapkan sedekah pahala daripada orang lain setelah ia mati kelak. Orang seperti ini hanya merugikan diri sendiri dengan kerugian yang amat besar kerana ia meninggalkan sesuatu yang dijamin baginya dan mengharapkan sesuatu yang belum dijamin baginya. Apakah pasti nanti ada orang yang akan menyedekahkan pahala kepadanya? Berapa banyakkah yang ia akan perolehi berbanding jika ia lakukan amal ibadat sendiri? Apakah ia pasti akan terlepas dari beban kewajipan-kewajipan yang ditinggalkan dan dosa-dosa yang dilakukan? Ia sewajarnya mengetahui bahawa perkara ini hanyalah di atas ijtihad para ulama dan bukannya sesuatu yang diijmakkan oleh mereka kecuali yang telah nyata sabit nas-nasnya. Semoga Allah SWT memelihara kita semua. Amin…

    وفقنا الله لما يحب ويرضى...

http://sawanih.blogspot.com/2015/02/harus-sedekah-pahala-kepada-si-mati.html

Penulis Adalah Ustaz Dr. Khafidz Soroni
Pensyarah Di Akademi Islam, Kolej Universiti Islam Antarabangsa Selangor & Co- Editor DI Institut Kajian Hadis Selangor (INHAD), KUIS

DALIL DARI AL-QURAN MENGENAI SIFAT 20

$
0
0
DALIL DARI AL-QURAN MENGENAI SIFAT 20

1. Wujud (ada) - dalilnya surah anbiya' ayat 22

2. Qidam (wujudnya Allah sedia ada) - dalilnya surah al-Hadid ayat 3

3. Baqa'(kekal) - dalilnya surah ar-Rahman (26-27)

4. Mukhalafatuhu Ta'ala lil hawadith (berlainan dgn segala yg baharu) - dalilnya surah syuraa ayat 11

5. Qiamuhu Ta'ala binafsihi (berdiri dgn sendirinya iaitu tidak berhajat kepada lainnya) - dalilnya surah fathir ayat 15

6. Wahdaniah (esa) - dalilnya surah al-Baqarah ayat 163

7. Qudrah (berkuasa) - dalilnya surah nuur ayat 45

8. Iradah (berkehendak) - dalilnya surah yaasin ayat 82

9. Ilmu (mengetahui) - dalilnya surah al-maidah ayat 97

10. Hayat (hidup) - dalilnya surah furqan ayat 58

11. Sama'(mendengar) - surah thaha ayat 46

12. Bashar (melihat) - surah hujurat ayat 18

13 kalam (berkata-kata) - surah an-Nisaa' ayat 164

Sedang tujuh lagi sifat2 ma'aniwiyah sama shj dalil naqlinya dgn 7 sifat ma'ani yg tersebut.


KEPENTINGAN TAREKAT DALAM PENINGKATAN ILMU DAN AMAL

$
0
0



KEPENTINGAN TAREKAT DALAM PENINGKATAN ILMU DAN AMAL

Oleh: TUAN GURU DR HJ JAHID HJ SIDEK, Mantan Profesor Madya Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya (APIUM)

Istilah Tarekat (Tariqah) digunakan dalam tasawwuf dengan berbagai makna dan konsep mengikut berlainan aspek yang dihubungkan dengannya. Bagaimanapun tarekat yang dimaksudkan dalam kertas kerja ini adalah yang dikonsepkan oleh Rasulullah (s. ’a. w.) dalam sabda baginda sebagai jawapan terhadap pertanyaan ‘Ali bin Abi Talib (r.’a). ‘Ali bertanya:

يا رسول الله دلني على اقرب الطرق إلى الله وأسهلها على عباده وأفضلها عنده تعالى
Maksudnya :

“Ya Rasulullah tunjukkan atau ajarkan kepadaku satu tarekat dari berbagai tarekat yang paling dekat (untuk sampai kepada keredaan Allah dan mengenal-Nya) dan yang paling mudah (untuk diamalkan) oleh para hamba Allah dan paling afdal atau baik di sisi Allah”

Rasulullah (s. ‘a. w.) memberikan jawapan dengan sabdanya:

يا على عليك بمداومة ذكر الله سرا وجهرا

Maksud:

“Ya ‘Ali (jika engkau mahu tarekat yang engkau maksudkan itu) maka wajiblah engkau sentiasa kekal berdhikru-‘lLah secara sirr (dalam hati, tanpa suara) dan secara kuat (bersuara).”

Akhirnya ‘Ali (r. ‘a.) diajarkan zikir tahlil lisan  لا اله الا الله oleh baginda.[1]

Konsep tarekat yang disebutkan dalam sabda Rasulullah (s.a.w) itulah yang menjadi amalan khusus bagi golongan ulul albab seperti yang dinyatakan dalam al-Quran, ayat 190-191 surah Al ‘Imran:

  [2]

Maksudnya :
“Sesungguhnya dalam kejadian langit dan bumi dan pertukaran (waktu) malam dan siang adalah sebagai ayat-ayat (tanda-tanda yang membuktikan keagungan dan kesempurnaan Allah) bagi golongan orang ulul-albab. Iaitu orang-orang yang (sentiasa) berdhikru-‘lLah (dalam apa juga keadaan), ketika berdiri, duduk dan berbaring, dan (sambil mereka berdhikru-‘lLah itu) mereka tafakkurkan (ayat-ayat Allah) yang ada di langit dan bumi itu. (Mereka berkata, setelah lama mereka berdhikru-‘lLah dan tafakkur itu) : Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau jadikan (seluruh langit dan bumi ini) sia-sia (tapi penuh hikmah) Mahasuci Engkau, maka peliharalah diri kami dari seksa neraka.”

Tarekat yang dimaksudkan di atas dianggap menjadi salah satu asas tasawwuf yang sangat penting Sheikh Abu Qasim al-Junaydi al-Baghdadi (w. 297H) pernah menegaskan:

ذكر الله ركن قوى في هذا العلم بل لا يصل أحد إلى الله إلا بدوام الذكر

Maksudnya :

“Dhikru-‘lLah adalah rukun atau asas yang penting dalam ilmu ini (tasawwuf). Bahkan seseorang tidak akan sampai kepada (mengenal dan keredhaan) Allah kecuali dengan kekal berdhikru-‘lLah.” [3]

Nabi (s.’a.w.) sentiasa kekal berdhikru-‘lLah sepanjang siang dan malam, kerana amalan tarekat diwajibkan ke atas diri baginda. Allah berfirman:

  [4]

Maksudnya :
“Dan ingatkanlah (Ya Muhammad) nama Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut (terhadap keagungan-Nya) dan dengan tidak bersuara di waktu pagi (siang) dan petang (malam) dan janganlah engkau menjadi orang-orang yang lalai.” (Surah al-A’raaf: 205)

Dengan perintah Allah tersebut di atas maka hati Nabi (s. ‘a. w.) sentiasa berdhikru-‘lLah sepanjang masa siang dan malam, sehingga semasa baginda tidur pun hatinya terus berdhikru-‘lLah. Baginda pernah menyebutkan :

“Sesungguhnya kedua-dua mataku tidur, tetapi hatiku tidak tidur.”[5]

Dari fakta-fakta yang dijelaskan dapat kita simpulkan bahawa amalan sentiasa kekal berdhikru-‘lLah itu adalah menjadi amalan tetap Rasulullah (s. ‘a. w.) dan juga para sahabat (r.’a.h.). Golongan ulul albab yang sentiasa berdhikru-‘lLah seperti yang disebut dalam Ali Imran, ayat 191 itu adalah terdiri dari para sahabat. Mereka boleh berdhikru-‘lLah dan tafakkur itu, kerana telah diajar oleh baginda Rasulullah (s.’a.w.)

Golongan Ashabu’s-Suffah adalah merupakan golongan sahabat yang sentiasa beribadat dan berdhikru-‘lLah. Kedudukan mereka begitu istimewa di sisi Allah. Nabi (s.’a.w.) diperintahkan supaya sentiasa mendampingi mereka dan jangan membiarkan mereka kerana desakan pemimpin-pemimpin Yahudi. Allah berfirman:

   [6]

Maksudnya:

“Dan bersabarlah engkau (ya Muhammad) bersama-sama dengan o
rang-orang yang menyeru Tuhan mereka itu pada setiap pagi dan petang (sepanjang masa) kerana mengharap keredaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka kerana mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah engkau mengikuti (kemahuan) orang-orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah urusan mereka ini melampaui batas.” (Surah Al-Kahfi: 28)

Sayyidina ‘Ali bin Abi Talib (r.’a.) sendiri pemah menceritakan keadaan sahabat-sahabat yang menjadi ahli suffah tersebut sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh ‘Arikah r.a. Antara lain riwayat tersebut menegaskan:

“Telah berkata ‘Arikah (r.‘a.): Aku telah bersembahyang subuh bersama-sama ‘Ali. Selepas ia (‘Ali) memalingkan muka ke kanan (memberi salam) maka iapun diam, seolah-olah ia bersedih, sehingga terbit matahari di atas tembok masjid setinggi satu galah. lapun sembahyang dua rakaat. Kemudian iapun menadah kedua tangannya sambil berkata: Demi Allah, sesungguhnya telah aku lihat sahabat-sahabat Muhammad (s. ‘a. w.), tidak pemah aku lihat pada hari ini orang lain yang menyerupai mereka sedikitpun. Sesungguhnya mereka itu berpagi-pagi dengan keadaan rambut kusut masai dan pakaian mereka berdebu, wajah mereka pucat. Sesungguhnya mereka itu telah berjaga malam dengan sujud dan berdiri di hadapan Allah dan membaca kitab-Nya. Apabila tiba waktu pagi pula, mereka segera berdhikru-‘lLah dengan menggerak-gerakkan badan mereka seperti bergoyangnya pokok pada masa ribut. Demi Allah, telah mengalir air mata mereka sehingga membasahi baju mereka”.[7]

Berbagai tarekat yang terdapat seperti Ahmadiyyah, Naqshabandiyyah, Qadiriyyah, Samaniyyah, Idrisiyyah, Rifa’iyyah, Shadhaziliyyah dan sebagainya lagi adalah didasarkan kepada asas ajaran dhikru-‘lLah seperti yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah. Dapat kita simpulkan bahawa tarekat-tarekat yang mu’tabarah itu adalah sunnah mut’taba’ah.

Tarekat sebagai salah satu institusi amalan Islam yang wujud bersama lahirnya Islam mempunyai asas-asas atau prinsip-prinsipnya sendiri. Antara prinsipnya yang penting ialah:

1) Taqwa.
2) Taubat.
3) Dhikru-‘lLah dan Tafakkur.
4) Uzlah dan khalwat.
5) Himmah yang kuat.
6) Sentiasa dipimpin guru.
7) Tujuan hidup hanya Allah dan keredhaan-Nya.
8) Sentiasa menjaga adab.
9) Mencari Ilmu khasnya Tauhid, Feqah dan Tasawwuf.
10) Muhasabah diri.

Nota Kaki:
[1] ‘Abdul al-Qadir ‘Isa, Haqaiq ‘an al-Tasawwuf, Diwan Press, U.K. T. Tarikh, hlm. 84
[2] Al-Qur’an, al-‘Imran, 190-191
[3] Abd al-Samad Al-Falimbangi, Hidayatus’-Salikin, Pulau Pinang: Dar al-Ma’arif, 1353 H.) hlm. 36
[4] Al-Qur’an, al-A’raf, 205
[5] Abd al-Samad Al-Falimbangi, Hidayatus’-Salikin, hlm. 36
[6] Al-Qur’an, al-Kahfi, 28
[7] Ibn Kathir, Al-Bidayah wa al-Nihayah, Jld VIII (Cairo: Kurdistan al-‘Ilmiyyah, 1348 H.), 6

101 senarai kitab daripada ribuan kitab para ulama Ahl al-Sunnah Wa al-Jama'ah yang menolak Muhammad bin Abdul Wahhab

$
0
0


  Ini 101 senarai kitab daripada ribuan kitab para ulama Ahl al-Sunnah Wa al-Jama'ah yang menolak Muhammad bin Abdul Wahhab, pengasas gerakan aliran Wahhabi dan kesesatan pemikiran Wahhab.

1) إتحاف الكرام في جواز التوسل و الاستغاثة بالأنبياء الكرام: تأليف الشيخ محمد بن الشدي، مخطوط في الخزانة الكتانية بالرباط برقم/ 1143 ك مجموعة.

2) إتحاف أهـل الزمان بأخبار ملوك تونس وعهـد الأمان: تأليف أحمد بن أبي الضياف، طبع .

3) أجوبة في زيارة القبور: للشيخ العيدروس، مخطوط في الخزانة العامة بالرباط برقم 2577/ 4 د مجموعة. وهذا كتاب انتصر فيه مؤلفه لمذهب اهل السنة في سنية زيارة قبر النبي علي الصلاة والسلام

4) الأجوبة النجدية عن الأسئلة النجدية: لأبي العون شمس الدين محمد بن أحمد بن سالم، المعروف بابن السفاريني، النابلسي، الحنبلي، المتوفى سنة 1117 هـ.

5) الأجوبة النعمانية عن الأسئلة الهـندية في العقائد: لنعمان بن محمود خير الدين الشهير بابن الالوسي البغدادي، الحنفي المتوفى سنة 1317 هـ.

6) إحياء المقبور من أدلة استحباب بناء المساجد والقباب على القبور تأليف: الحافظ أحمد بن الصديق الغماري المتوفى سنة 1380هـ، طبع.

7) الإصابة في نصرة الخلفاء الراشدين: تأليف حمدي جويجاتي الدمشقي.

8) الأصول الأربعة في ترديد الوهّابية: لمحمد حسن صاحب السرهـندي، المجذدي، المتوفى سنة 1346 هـ، مطبوع.

9) إظهـار العقوق ممّن منع التوسّل بالنبي والوليّ الصدوق: للشيخ المشرفي المالكي الجزائري.

10) الأقوال السنية في الرد على مدعي نصرة السنة المحمدية: جمعهـا إبراهـيم شحاته الصديقي من كلام المحدث عبد الله الغماري، طبع.

11) الأقوال المرضية في الردّ على الوهّابية: عطا الكسم الدمشقي الحنفي، مطبوع.

12) الانتصار للأولياء الأبرار: للشيخ المحدث طاهـر سنبل الحنفي. رد فيه مؤلفه على تطاول الوهابية على الاولياء ومقامهم.

13) الأوراق البغدادية في الجوابات النجدية: للشيخ إبراهـيم الراوي البغدادي، الرفاعي، رئيس الطريقة الرفاعية ببغداد، مطبوع.

14) البراءة من الاختلاف في الرد على أهـل الشقاق والنفاق والرد على الفرقة الوهّابية الضالّة: للشيخ علي زين العابدين السوداني، مطبوع.

15) البراهـين الساطعة في رد بعض البدع الشائعة: للشيخ سلامة العزامي، المتوفى سنة 1379هـ، طبع.

16) البصائر لمنكري التوسّل بأهل المقابر: لحمد الله الداجوي الحنفي الهـندي، مطبوع.

17) تاريخ الوهّابية: لأيوب صبري باشا الرومي صاحب "مرءاة الحرمين. بين فيه مؤلفه التاريخ الدموي لهذه الفرقة الوهابية.

18) تبرك الصحابة بأثار رسول الله : لمحمد طاهـر بن عبد القادر الكردي، طبع.

19) تجريد سيف الجهاد لمدّعي الاجتهاد: للشيخ عبد الله بن عبد اللطيف الشافعي، وهـو أستاذ محمد بن عبد الوهـاب وشيخه ، وقد ردّ عليه في حياته.

20) تحذير الخلف من مخازي أدعياء السلف: للشيخ محمد زاهـد الكوثري. الشيخ محمد زاهد الكوثري وكيل المشيخة العثمانية في زمانه.

21) التحريرات الرائقة: للشيخ محمد النافلاتي الحنفي مفتي القدس الشريف، كان حيا سنة 1315هـ ، مطبوع.

22) تحريض الأغبياء على الاستغاثة بالأنبياء والأولياء: للشيخ عبد الله بن إبراهـيم الميرغني الحنفي، الساكن بالطائف.

23) التحفة الوهبية في الردّ على الوهّابية: للشيخ داود بن سليمان البغدادي، النقشبندي الحنفي، المتوفى سنة 299 ا.

24) تطهير الفؤاد من دنس الاعتقاد: للشيخ محمد بخيت المطيعي الحنفي، من علماء الأزهـر، مطبوع.

25) تقييد حول التعلق والتوسل بالأنبياء والصالحين: قاضي الجماعة في المغرب ابن كيران، مخطوط في خزانة الجلاوي/ الرباط برقم/ 153 ج مجموعة.

26) تقييد حول زيارة الأولياء والتوسل بهـم: للمؤلف السابق، وضمن المجموعة السابقة.

27) تهكم المقلّدين بمن ادعى تجديد الدين: للشيخ محمد بن عبد الرحمـن الحنبلي. رد فيه على ابن عبد الوهـاب في كل مسألة من المسائل التي ابتدعهـا بأبلغ رد.

28) التوسّل: للمفتي محمد عبد القيوم القادري الهزاروي، مطبوع.

29) التوسّل بالنبي والصالحين: لأبي حامد بن مرزوق الدمشقي الشامي، مطبوع.

30) التوضيح عن توحيد الخلاق في جواب أهـل العراق على محمد بن عبد الوهـاب: لعبد الله أفندي الراوي. مخطوط في جامعة كمبردج/ لندن باسم "ردّ الوهّابية، ومنه نسخة في مكتبة الأوقاف/ بغداد.

31) جلال الحقّ في كشف أحوال أشرار الخلق: للشيخ إبراهـيم حلمي القادري ا لاسكندري، مطبوع.

32) الجوابات في الزيارة: لابن عبد الرزاق الحنبلي. قال السيد علوي بن الحدّاد: رأيت جوابات للعلماء الأكابر من المذاهـب الأربعة من أهـل الحرمين الشريفين، والأحساء والبصرة وبغداد وحلب واليمن وبلدان الإسلام نثرًا ونظمًا.

33) حاشية الصاوي على الجلالين: للشيخ أحمد الصاوي المالكي.

34) الحقائق الإسلامية في الردّ على المزاعم الوهّابية بأدلّة الكتاب والسنة النبوية: لمالك ابن الشيخ محمود، مدير مدرسة العرفان بمدينة كوتبالي بجمهورية مالي الأفريقية، مطبوع.

35) الحق المبين في الردّ على الوهـابيّين. للشيخ أحمد سعيد الفاروقي السرهـندي النقشبندي المتوفى سنة 1277 هـ.

36) الحقيقة الإسلامية في الردّ على الوهّابية: لعبد الغني بن صالح حمادة، مطبوع

37) الدرر السنيّة في الردّ على الوهّابية: للسيد أحمد بن زيني دحلان. مفتي مكة الشافعي، المتوفى سنة 1304هـ، مطبوع.

38) الدليل الكافي في الرد على الوهابي: للشيخ مصباح بن أحمد شبقلو البير وتي، مطبوع.

39) الرائية الصغرى في ذم البدعة ومدح السنة الغرا: نظم الشيخ يوسف النبهـاني البيروتي، مطبوع.

40) رد المحتار على الدر المختار: لمحمد أمين الشهـير بابن عابدين الحنفي الدمشقي، مطبوع.

41) الردّ على ابن عبد الوهـاب: لشيخ الإسلام بتونس إسماعيل التميمي المالكي، المتوفى سنة 1248هــ، وهـو في غاية التحقيق والإحكام. مطبوع في تونس.

42) ردّ على ابن عبد الوهـاب: للشيخ أحمد المصري الأحسائي.

43) ردّ على ابن عبد الوهـاب: للعلامة بركات الشافعي، الأحمدي، المكّي.

44) الردود على محمد بن عبد الوهـاب. للشيخ المحدث صالح الفلاني المغربي. قال السيد علوي بن الحدّاد: كتاب ضخم فيه رسالات وجوابات كلّهـا من العلماء أهـل المذاهـب الأربعة: الحنفية، والمالكية، والشافعية، والحنابلة، يردون على محمد بن عبد الوهـاب بالعجب.

45) الرد على الوهّابية: للشيخ صالح الكوا ش التونسي، وهـي رسالة مسجعة نقض بهـا رسالة لابن عبد الوهـاب، مطبوع.

46) الرد على الوهّابية: للشيخ محمد صالح الزمزمي الشافعي، إمام مقام إبراهـيم بمكة المكرمة.

47) الردّ على الوهّابية: لإبراهـيم بن عبد القادر الطرابلسي الرياحي التونسي المالكي من مدينة تستور، المتوفى سنة 1266هــ .

48) الردّ على الوهّابية: لعبد المحسن الأشيقري الحنبلي، مفتي مدينة الزبير بالبصرة.

49) الردّ على الوهّابية: للشيخ المخدوم المهـدي مفتي فاس.

50) الردّ على محمد بن عبد الوهـاب: لمحمد بن سليمان الكردي الشافعي، أستاذ ابن عبد الوهـاب وشيخه. ذكر ذلك ابن مرزوق الشافعي، وقال: "وتفرس فيه شيخه أنه ضال مضل كما تفرس فيه ذلك شيخه محمد حياة السندي ووالده عبد الوهـاب ".

51) الردّ على الوهّابية: لأبي حفص عمر المحجوب، مخطوط بدار الكتب الوطنية/ تونس، برقم 2513، ومصورتهـا في معهـد المخطوطات العربية/ القاهـرة. وفي المكتبة الكتانية- الرباط برقم 1325 ك.

52) الردّ على الوهّابية: لقاضي الجماعة في المغرب ابن كيزان، مخطوط بالمكتبة الكتانية/ الرباط، برقم 1325 ك.

53) الردّ على محمد بن عبد الوهـاب: للشيخ عبد الله القدومي الحنبلي النابلسي، عالم الحنابلة بالحجاز والشام المتوفى سنة 1331هــ . رد عليه في مسئلة الزيارة ومسئلة التوسل بالأنبياء والصالحين، وقال: إنه مع مقلديه من الخوارج، وقد ذكر ذلك في رسالته "الرحلة الحجازية والرياض الأنسية في الحوادث والمسائل ، طبع.

54) رسالة في تأييد مذهـب الصوفية والرد على المعترضين عليهـم: للشيخ سلامة العزامي المتوفى سنة 1379 هــ ، مطبوع.

55) رسالة في تصرف الأولياء: للشيخ يوسف الدجوي، طبع.

56) رسالة في جواز التوسّل في الردّ على محمد بن عبد الوهـاب: للعلاّمة مفتي فاس الشيخ مهدي الوازناني.

57) رسالة في جواز الاستغاثة والتوسل: للسيد يوسف البطاح الأهدل الزبيدي نزيل مكة المكرمة. أورد فيهـا أقوال العلماء من المذاهـب الأربعة ثم قال: "ولا عبرة بمن شذَّ عن السواد الأعظم وخالف الجمهـور وفارق الجماعة فهـو من المبتدعة ".

58) رسالة في حكم التوسّل بالأنبياء والأولياء: للشيخ محمّد حسنين مخلوف العدوي المصري وكيل الجامع الأزهـر، مطبوعة.

59) رسالة في الردّ على الوهّابية: للشيخ قاسم أبي الفضل المحجوب المالكي.

60) الرسالة الردّية على الطائفة الوهّابية: لمحمّد عطاء الله المعروف بعطا الرومي، من كوزل حصار.

61) رسالة في مشاجرة بين أهـل مكة وأهـل نجد في العقيدة: للشيخ محمّد ابن ناصر الحازمي اليمني المتوفى سنة 1283 هــ ، مخطوط في المكتبة الكتانية/ الرباط "برقم 30/ 1 ك مجموعة.

62) الرسالة المرضية في الردّ على من ينكر الزيارة المحمذية: لمحمّد السعدي المالكي.

63) روض المجال في الرد على أهـل الضلال: للشيخ عبد الرحمن الهـندي الدلهي الحنفي، مطبوعة!جدة- 1327 هــ .

64) سبيل النجاة من بدعة أهل الزيغ والضلالة: للقاضي عبد الرحمن قوتي.

65) سعادة الداربن في الردّ على الفرقتين: الوهّابية، ومقلّدة الظاهـرية: لإبراهـيم بن عثمان بن محمّد السمنودي المنصوري المصري، مطبوع في مصر سنة 1320 هــ ، في مجلدين.

66) سناء الإسلام فـي أعلام الأنام بعقائد أهـل البيت الكرام ردّا على عبد العزيز النجدي فيما ارتكبه من الأوهـام: لإسماعيل بن أحمد الزبدي.

67) السيف الباتر لعنق المنكر على اكابر: للسيد علوي بن أحمد الحداد، المتوفى سنة 1222 هــ.

68) السيوف الصقال في أعناق من أنكر على الأولياء بعد الانتقال: لعالم من بيت المقدس.

69) السيوف المشرقية لقطع أعناق القائلين بالجهـة والجسمية: لعلي بن محمّد الميلي الجمالي التونسي المغربي المالكي.

70) شرح الرسالة الردية على طائفة الوهّابية: للشيخ محمّد عطاء الله بن محمّد بن اسحاق شيخ الإسلام الرومي المتوفى سنة 226 ا هــ .

71) الصارم الهـندي في عنق النجدي: للشيخ عطاء المكي.

72) صدق الخبر في خوارج القرن الثاني عشر في إثبات أن الوهّابية من الخوارج: للشريف عبد الله بن حسن باشا بن فضل باشا العلوي الحسيني الحجازي، أمير ظفار، طبع باللاذقية.

73) صلح الإخوان في الردّ على من قال على المسلمين بالشرك والكفران: في الردّ على الوهّابية لتكفيرهـم المسلمين. للشيخ داود بن سليمان النقشبندي البغدادي الحنفي، المتوفى سنة 1299هــ .

74) الصواعق الإلهـية في الردّ على الوهّابية: للشيخ سليمان بن عبد الوهـاب شقيق المبتدع محمّد بن عبد الوهـاب، مطبوع.

75) الصواعق والرعود: للشيخ عفيف الدين عبد الله بن داود الحنبلي. قال العلامة علوي بن أحمد الحداد: (كتب عليه تقاريظ أئمة من علماء البصرة وبغداد وحلب والأحساء وغيرهـم تأييدا له وثناء عليه) .

76) ضياء الصدور لمنكر التوسل بأهـل القبور: ظاهـر شاه ميان بن عبد العظيم ميان، طبع.

77) العقائد التسع: للشيخ أحمد بن عبد الأحد الفاروقي الحنفي النقشبندي، مطبوع.

78) العقائد الصحيحة في ترديد الوهّابية النجدية: لحافظ محمّد حسن السرهـندي المجددي، مطبوع.

79) عقد نفيس في ردّ شبهـات الوهّـابي التعيس: لإسماعيل أبي الفداء التميمي التونسي، الفقيه المؤرخ.

80) غوث العباد ببيان الرشاد: للشيخ مصطفى الحمامي المصري، مطبوع.

81) فتنة الوهّابية: للشيخ أحمد بن زيني دحلان، المتوفى سنة 1304 هـ، مفتي الشافعية بالحرمين، والمدرّس بالمسجد الحرام في مكة، وهـو مستخرج من كتابه "الفتوحات الإسلامية المطبوع بمصر سنة 1354 هـ، مطبوع.

82) فرقان القرءان: للشيخ سلامة العزامي القضاعي الشافعي المصري، ردّ فيه على القائلين بالتجسيم ومنهـم ابن تيمية و الوهابية، مطبوع.

83) فصل الخطاب في الردّ على محمّد بن عبد الوهـاب: للشيخ سليمان بن عبد الوهـاب شقيق محمّد مؤسس الوهّابية، وهـذا أول كتاب ألف ردّا على الوهّـا بية.

84) فصل الخطاب في ردّ ضلالات ابن عبد الوهـاب: لأحمد بن علي البصري، الشهـير بالقبّاني الشافعي.

85) الفيوضات الوهـبية في الرد على الطائفة الوهّابية: لأبي العباس أحمد بن عبد السلام البناني المغربي.

86) قصيدة في الردّ على الصنعاني في مدح ابن عبد الوهـاب: من نظم الشيخ ابن غلبون الليبي، عدّة أبياتهـا (40) بيتا، مطلعهـا: سلامي على أهـل الإصابة والرشدِ وليس على نجد ومن حلّ في نجد

87) قصيدة في الردّ على الصنعاني الذي مدح ابن عبد الوهـاب: من نظم السيد مصطفى المصري البولاقي، عذة أبياتهـا (126) بيتا، مطلعهـا: بحمد وليّ الحمد لا الذمّ أستبدي وبالحق لا بالخلق للحقّ أستهـدي

88) قصيدة في الردّ على الوهّابية: للشيخ عبد العزيز القرشي العلجي المالكي الأحسائي، عذة أبياتهـا، (95) بيتا، مطلعهـا: ألا أيهـا الشيخ الذي بالهـدى رُمي سترجع بالتوفيق حظّا ومغنما

89) قمع أهـل الزيغ والإلحاد عن الطعن في تقليد أئمة الاجتهـاد: لمفتي المدينة المنورة المحدث الشيخ محمّد الخضر الشنقيطي المتوفى سنة 1353 هــ.

90) محق التقوّل في مسألة التوسّل: للشيخ محمّد زاهـد الكوثري.

91) المدارج السنيّة في ردّ الوهّابية: للشيخ عامر القادري، معلّم بدار العلوم القادرية-كرا تشي، الباكستان، مطبوع.

92) مصباح الأنام وجلاء الظلام في ردّ شبه البدعي النجدي التي أضل بهـا العوام: للسيد علوي بن أحمد الحداد، المتوفى سنة 1222 هــ . طبع بالمطبعة العامرة بمصر 1325 هــ.

93) المقالات: للشيخ يوسف أحمد الدجوي أحد كبار مشايخ الأزهـر المتوفى سنة 1365 هــ.

94) المقالات الوفيّة في الردّ على الوهّابية: للشيخ حسن قزبك، مطبوع بتقريظ الشيخ يوسف الدجوي.

95) المنح الإلهـية في طمس الضلالة الوهّابية: للقاضي اسماعيل التميمي التونسي المتوفى سنة 1248 هـ . مخطوط بدار الكتب الوطنية في تونس رقم 2785، ومصورتهـا في معهـد المخطوطات العربية/ القاهـرة، وقد طبع.

96) المنحة الوهـبيّة في الردّ على الوهّابية: للشيخ داود بن سليمان النقشبندي البغدادي، المتوفى سنة 1299 هـ. طبع في بومباي سنة 1305 هــ .

97) المنهـل السيال في الحرام والحلال: للسيد مصطفى المصري البولاقي.

98) نصيحة جليلة للوهـابية: للسيد محمّد طاهـر ءال ملا الكيالي الرفاعي نقيب أشراف ادلب، وقد أرسلهـا لهـم. طبع بادلب.

99) النقول الشرعية في الردّ على الوهّابية: للشيخ مصطفى بن أحمد الشطي الحنبلي، الدمشقي. طبع في إستانبول 1406 هــ .

100) يهـودا لا حنابلة: للشيخ الأحمدي الظواهـري شيخ الأزهـر.

101) كتاب التوسل لمحمد بخيت المطيعي.


Ustaz Amin Al-Azhary

BID'AH HASANAH YANG DILAKUKAN OLEH AHLI HADITH

$
0
0

BID'AH HASANAH YANG DILAKUKAN OLEH AHLI HADITH

Bid’ah saat ini menjadi sebuah bahasa yang menyeramkan kerana sebahagian kelompok menilainya sebagai kesesatan, seluruhnya tanpa terkecuali. Bagi mereka, setiap amalan dalam agama yang tidak dilakukan oleh Nabi, atau menentukan waktu ibadah dengan cara-cara tertentu adalah bid’ah yang sesat dan pelakunya akan masuk neraka.

Namun pernahkah terlintas dalam fikiran bahawa para ahli hadis yang meriwayatkan hadis tentang bid’ah, ternyata juga melakukan bid’ah. Apakah ahli hadis itu melakukan bid’ahnya tanpa sedar? Tidak tahukah kalau semua bid’ah adalah sesat? Kalaulah mereka mengaku bahawa semua bid’ah sesat, sementara para ahli hadis melakukan perbuatan bid’ah, seperti Imam Bukhari yang solat saat setiap menulis hadisnya di dalam kitab Sahih (padahal tidak ada perintah dari Nabi dan Imam Bukhari menentukan sendiri tidak berdasarkan tuntunan Syar’i), lalu mengapa sampai saat ini mereka sering memakai hadis-hadis riwayat Imam Bukhari? riwayat Imam Ahmad, Imam Malik dan sebagainya?

Jika para ahli hadis banyak yang melakukan bid’ah, bererti ada kesalahan dalam memahami semua bid’ah sesat. Sebab diakui atau tidak, para ahli hadis lebih mengetahui makna bid’ah yang mereka riwayatkan dalam hadis-hadisnya, bahwa ‘Tidak semua bid’ah sesat’.

Contohnya adalah beberapa penentuan waktu solat yang dilakukan oleh ulama Ahli Hadis, mulai yang melakukan ratusan rakaat dalam sehari, hingga yang solat sampai ribuan rakaat setiap hari :

1. Imam al-Bukhari (15126 rakaat)

وقال الفربري قال لي البخاري: ما وضعت في كتابي الصحيح حديثاً إلا اغتسلت قبل ذلك وصليت ركعتين
(طبقات الحفاظ - ج 1 / ص 48 وسير أعلام النبلاء 12 / 402 وطبقات الحنابلة 1 / 274، وتاريخ بغداد 2 / 9، وتهذيب الاسماء واللغات 1 / 74 ووفيات الاعيان 4 / 190، وتهذيب الكمال 1169، وطبقات السبكي 2 / 220، ومقدمة الفتح 490 وتهذيب التهذيب 9 / 42)

“al-Farbari berkata bahwa al-Bukhari berkata: Saya tidak meletakkan 1 hadis pun dalam kitab Sahih saya, kecuali saya mandi terlebih dahulu dan saya salat 2 rakaat”
(Diriwayatkan oleh banyak ahli hadis, diantaranya dalam Thabaqat al-Huffadz, al-Hafidz as-Suyuthi,1/48, Siyar A’lam an-Nubala’, al-Hafidz adz-Dzahabi 12/402, Thabaqat al-Hanabilah, 1/274, Tarikh Baghdad 2/9, Tahdzib al-Asma, Imam an-Nawawi, 1/74, Wafayat al-A’yan 4/190, Tahdzib al-Kamal, al-Hafidz al-Mizzi 1169, Thabaqat as-Subki 2/220, dan al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Muqaddimah al-Fath 490 dan at-Tahdzib 9/42)

Sedangkan hadis yang tertera dalam Sahih al-Bukhari berjumlah 7563 hadis. Maka solat yang beliau lakukan juga sesuai jumlah hadis tersebut atau 15126 (lima belas ribu seratus dua puluh enam) rakaat.

وروينا عن عبد القدوس بن همام، قال: سمعت عدة من المشايخ يقولون: حول البخارى تراجم جامعه بين قبر النبى - صلى الله عليه وسلم - ومنبره، وكان يصلى لكل ترجمة ركعتين (تهذيب الأسماء - (1 / 101)

“Kami meriwayatkan dari Abdul Quddus bin Hammam, bahwa ia mendengar dari para guru yang berkata seputar al-Bukhari ketika menulis bab-bab salam kitab Sahihnya diantara makam Nabi dan mimbarnya, dan al-Bukhari salat 2 rakaat dalam tiap-tiap bab” (Tahdzib al-Asma’, an-Nawawi, 1/101)

2. Imam Malik bin Anas (800 rakaat)

حدثنا أبو مصعب و أحمد بن إسماعيل قالا مكث مالك بن أنس ستين سنة يصوم يوماً ويفطر يوماً وكان يصلي في كل يوم ثمانمائة ركعة (طبقات الحنابلة 1 / 61)

“Abu Mush’ab dan Ahmad bin Ismail berkata: Malik bin Anas berpuasa sehari dan berbuka sehari selama 60 tahun dan ia salat setiap hari 800 rakaat” (Thabaqat al-Hanabilah, Ibnu Abi Ya’la, 1/61)

3. Imam Ahmad Bin Hanbal (300 rakaat)

- قال ابو يحي وسمعت بدر بن مجاهد يقول سمعت أحمد بن الليث يقول سمعت أحمد بن حنبل يقول إنى لأدعو الله للشافعى فى صلاتى منذ أربعين سنة يقول اللهم اغفر لى ولوالدى ولمحمد بن إدريس الشافعى (طبقات الشافعية الكبرى للسبكي ج 3 / ص 194 ومناقب الشافعي للبيهقي 2-254)

“Sungguh saya berdoa kepada Allah untuk Syafii dalam salat saya sejak 40 tahun. Doanya: Ya Allah ampuni saya, kedua orang tua saya dan Muhammad bin Idris asy-Sfafii” (Thabaqat al-Syafiiyah al-Kubra, as-Subki, 3/194 dan Manaqib asy-Syafii, al-Baihaqi, 2/254)

- قال عبد الله بن أحمد: كان أبي يصلي في كل يوم وليلة ثلاث مئة ركعة. فلما مرض من تلك الأسواط أضعفته، فكان يصلي في كل يوم وليلة مئة وخمسين ركعة، وقد كان قرب من الثمانين (مختصر تاريخ دمشق لابن رجب الحنبلي ج 1 / ص 399)

“Abdullah bin Ahmad berkata: Bapak saya (Ahmad bin Hanbal) melakukan salat dalam sehari semalam sebanyak 300 rakaat. Ketika beliau sakit liver, maka kondisinya melemah, beliau salat dalam sehari semalam sebanyak 150 rakaat, dan usianya mendekati 80 tahun” (Mukhtashar Tarikh Dimasyqa, Ibnu Rajab al-Hanbali, 1/399)

جعفر بن محمد بن معبد المؤدب قال: رأيت أحمد بن حنبل يصلي بعد الجمعة ست ركعات ويفصل في كل ركعتين (طبقات الحنابلة 1 / 123)

“Jakfar bin Muhammad bin Ma’bad berkata: Saya melihat Ahmad bin Hanbal salat 6 rakaat setelah Jumat, masing-masing 2 rakaat” (Thabaqat al-Hanabilah, Ibnu Abi Ya’la, 1/123)

4. Imam Basyar bin Mufadlal (400 rakaat)

بشر بن المفضل بن لاحق البصري الرقاشي أبو إسماعيل. قال أحمد: إليه المنتهى في التثبت بالبصرة وكان يصلى كل يوم أربعمائة ركعة ويصوم يوماً ويفطر يوماً وكان ثقة كثير الحديث مات سنة ست وثمانين ومائة (طبقات الحفاظ 1 / 24)

“Imam Ahmad berkata tentang Basyar bin Mufadzal al-Raqqasyi: Kepadanyalah puncak kesahihan di Bashrah. Ia salat setiap hari sebanyak 400 rakaat, ia puasa sehari dan berbuka sehari. Ia terpercaya dan memiliki banyak hadis, wafat 180 H” (Thabaqat al-Huffadz, al-Hafidz as-Suyuthi,1/24)

5. Cucu Sayidina Ali (1000 rakaat)

ذو الثفنات علي بن الحسين بن علي بن أبي طالب زين العابدين سمي بذلك لأنه كان يصلى كل يوم ألف ركعة فصار في ركبتيه مثل ثفنات البعير (تهذيب الكمال - 35 / 41)

“Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, hiasan ahli ibadah, disebut demikian karena ia salat dalam sehari sebanyak 1000 rakaat, sehingga di lututnya terdapat benjolan seperti unta” (Tahdzib al-Asma’, al-Hafidz al-Mizzi, 35/41)

وقال مالك بلغني أنه (علي بن الحسين بن علي بن أبي طالب) كان يصلي في اليوم والليلة ألف ركعة إلى أن مات (تذكرة الحفاظ للذهبي 1 / 60)

“Malik berkata: Telah sampai kepada saya bahwa Ali bin Husain salat dalam sehari semalam 1000 rakaat sampai wafat” (Tadzkirah al-Huffadz, al-Hafidz adz-Dahabi, 1/60)

6. Maimun bin Mahran (17000 rakaat)

ويروى ان ميمون بن مهران صلى في سبعة عشر يوما سبعة عشر الف ركعة (تذكرة الحفاظ 1 / 99)

“Diriwayatkan bahwa Maimun bin Mahran salat dalam 17 hari sebanyak 17000 rakaat” (Tadzkirah al-Huffadz, al-Hafidz adz-Dahabi, 1/99)

7. Basyar bin Manshur (500 rakaat)

قال ابن مهدى ما رأيت أحدا أخوف لله منه وكان يصلي كل يوم خمسمائة ركعة وكان ورده ثلث القرآن (تهذيب التهذيب 1 / 403)
“Ibnu Mahdi berkata: Saya tidak melihat seseorang yang paling takut kepada Allah selain Basyar bin Manshur. Ia salat dalam sehari 500 rakaat, wiridannya adalah 1/3 al-Quran” (Tahdzib at-Tahdzib, al-Hafidz Ibnu Hajar, 1/403)

8. al-Harits bin Yazid (600 rakaat)

الحارث بن يزيد قال احمد ثقة من الثقات وقال العجلي والنسائي ثقة وقال الليث كان يصلي كل يوم ستمائة ركعة (تهذيب التهذيب 2 / 142)
“Ahmad berkata: Terpercaya diantara orang-orang terpercaya. Laits berkata: al-Harits salat dalam sehari 600 rakaat” (Tahdzib at-Tahdzib, al-Hafidz Ibnu Hajar, 2/142)

9. Ibnu Qudamah (100 rakaat)

ولا يسمع ذكر صلاة إلا صلاها، ولا يسمع حديثاً إلا عمل به. وكان يصلَّي بالناس في نصف شعبان مائة ركعة، وهو شيخ كبير (ذيل طبقات الحنابلة ابن رجب 1 / 203)

“Ibnu Qudamah tidak mendengar tentang salat kecuali ia lakukan. Ia tidak mendengar 1 hadis kecuali ia amalkan. Ia salat bersama dengan orang lain di malam Nishfu Sya’ban 100 rakaat, padahal ia sudah tua” (Dzail Thabaqat al-Hanabilah, Ibnu Rajab al-Hanbali, 1/203)

وكان يصلِّي بين المغرب والعشاء أربع ركعات، يقرأ فيهن السَّجدة، ويس، وتبارك والدخان. ويصلَّي كل ليلة جمعة بين العشاءين صلاة التسبيح ويطيلها، ويصلَّي يوم الجمعة ركعتين بمائة "قل هو الله أحد "الإخلاص، وكان يصلي في كل يوم وليلة اثنتين وسبعين ركعة نافلة، وله أوراد كثيرة. وكارْ يزور القبور كل جمعة بعد العصر (ذيل طبقات الحنابلة - 1 / 204)

“Ibnu Qudamah salat antara Maghrib dan Isya’ sebanyak 4 rakaat, dengan membaca surat Sajdah, Yasin Tabaraka dan ad-Dukhan. Beliau salat Tasbih setiap malam Jumat antara Maghrib dan Isya’ dan memanjangkannya. Di hari Jumat ia salat 2 rakaat dengan membaca al-Ikhlas 100 kali. ia salat sunah sehari semalam sebanyak 72 rakaat. ia memiliki banyak wiridan. Ia melakukan ziarah kubur setiap Jumat setelah Ashar” (Dzail Thabaqat al-Hanabilah, Ibnu Rajab al-Hanbali, 1/204)

10. Umair bin Hani’ (1000 sujud)

كان عمير بن هانئ يصلي كل يوم الف سجدة ويسبح مائة الف تسبيحة (تهذيب التهذيب 8 / 134)

“Umair bin Hani’ salat dalam sehari sebanyak 1000 sujud dan membaca tasbih sebanyak 100.000” (Tahdzib at-Tahdzib, al-Hafidz Ibnu Hajar, 8/134)

11. Murrah bin Syarahil (600 rakaat)

قلت: هو قول ابن حبان في الثقات زاد وكان يصلي كل يوم ستمائة ركعة وقال العجلي تابعي ثقة وكان يصلي في اليوم والليلة خمسمائة ركعة (تهذيب التهذيب 10 / 80)

“Ibnu Hibban menambahkan bahwa Marrah bin Syarahil salat dalam sehari 600 rakaat. al-Ajali berkata, ia tabii yang tsiqah, ia salat dalam sehari 500 rakaat” (Tahdzib at-Tahdzib, al-Hafidz Ibnu Hajar, 10/80)

12. Abdul Ghani (300 rakaat)

وسمعت يوسف بن خليل بحلب يقول عن عبد الغني: كان ثقة، ثبتاً، ديناً مأموناً، حسن التصنيف، دائم الصيام، كثير الإيثار. كان يصلي كل يوم وليلة ثلاثمائة ركعة (ذيل طبقات الحنابلة 1 / 185)

“Abdul Ghani, ia terpercaya, kokoh, ahli agama  yang dipercayai, banyak karangannya, selalu puasa, selalu mendahulukan ibadah. Ia salat dalam sehari semalam 300 rakaat” (Dzail Thabaqat al-Hanabilah, Ibnu Rajab al-Hanbali, 1/185)

13. Abu Ishaq asy-Syairazi (Tiap bab dalam kitab)

وقال أبو بكر بن الخاضبة سمعت بعض أصحاب أبي إسحاق ببغداد يقول كان الشيخ يصلي ركعتين عند فراغ كل فصل من المهذب (طبقات الشافعية الكبرى 4 / 217)

“Abu Bakar abin Khadhibah berkata: Saya mendengar dari sebagian santri Abu Ishaq di Baghdad bahwa Syaikh (Abu Ishaq) salat 2 rakaat setiap selesai menulis setiap Fasal dalam Muhadzab” (Thabaqat asy-Syafiiyat al-Kubra, as-Subki, 4/217)

14. Qadli Abu Yusuf (200 rakaat)

وقال ابن سماعة كان أبو يوسف يصلي بعد ما ولي القضاء في كل يوم مائتي ركعة (تذكرة الحفاظ للذهبي 1 / 214)
“Ibnu Sama’ah berkata: Setelah Abu Yusuf menjadi Qadli, ia salat dalam sehari sebanyak 200 rakaat” (Tadzkirah al-Huffadz, al-Hafidz adz-Dzahabi, 1/214)

15. Ali bin Abdillah (1000 rakaat)

وقال أبو سنان: كان على بن عبد الله يصلى كل يوم ألف ركعة (تهذيب الأسماء 1 / 492)

“Abu Sanan berkata: Ali bin Abdillah salat dalam sehari 1000 rakaat” (Tahdzib al-Asma’, an-Nawawi, 1/492)

16. al-Hafidz ar-Raqqasyi (400 rakaat)

الرقاشي الإمام الثبت الحافظ أبو عبد الله محمد بن عبد الله بن محمد بن عبد الملك البصري: أبو حاتم وقال: ثقة رضا وقال العجلي: ثقة من عباد الله الصالحين وقال يعقوب السدوسي: ثقة ثبت قال العجلي: يقال: إنه كان يصلي في اليوم والليلة أربعمائة ركعة (تذكرة الحفاظ للذهبي – 2 / 37)
“ar-Raqqasyi, terpercaya, ia salat dalam sehari semalam 400 rakaat” (Tadzkirah al-Huffadz, al-Hafidz adz-Dzahabi, 2/73)

17. Abu Qilabah (400 rakaat)

وقال أحمد بن كامل القاضي: حكي أن أبا قلابة كان يصلي في اليوم والليلة أربعمائة ركعة (تذكرة الحفاظ للذهبي 2 / 120)
“Qadli Ahmad bin Kamil berkata: Diceritakan bahwa Abu Qilabah salat dalam sehari semalam sebanyak 400 rakaat” (Tadzkirah al-Huffadz, al-Hafidz adz-Dzahabi, 2/120)

18. Cucu Abdullah bin Zubair (1000 rakaat)

مصعب بن ثابت بن عبد الله بن الزبير وكان مصعب يصلي في اليوم والليلة ألف ركعة ويصوم الدهر (صفة الصفوة 2 / 197- والإصابة في تمييز الصحابة 2 / 326)

“Mush’ab bin Tsabit bin Abdillah bin Zubair, ia salat dala sehari semalam 1000 rakaat” (Shifat ash-Shafwah, Ibnu Jauzi, 2/197 dan al-Ishabah, al-Hafidz Ibnu Hajar, 2/326)

19. Malik Bin Dinar (1000 rakaat)

وروى بن أبي الدنيا من طرق انه كان فرض على نفسه كل يوم ألف ركعة (الإصابة في تمييز الصحابة 5 / 77)
“Ibnu Abi Dunya meriwayatkan dari beberapa jalur bahwa Malik bin Dinar mewajibkan pada dirinya sendiri untuk salat 1000 rakaat dalam setiap hari” (al-Ishabah, al-Hafidz Ibnu Hajar, 5/77)

20. Bilal Bin Sa’d (1000 rakaat)

وقال الاوزاعي كان بلال بن سعد من العبادة على شئ لم يسمع باحد من الامة قوى عليه كان له في كل يوم وليلة الف ركعة (تهذيب التهذيب 1 / 441)

“Auzai berkata: dalam masalah ibadah tidak didengar 1 orang yang lebih kuat daripada Bilal bin Sa’d, ia salat 1000 rakaat setiap hari” (Tahdzib al-Asma’, an-Nawawi, 1/441)


Amalan Menabur Bunga di pusara adalah ajaran Islam, sunat, bukan diambil dari kristian dan yahudi.

$
0
0
Amalan Menabur Bunga di pusara adalah ajaran Islam, sunat, bukan diambil dari kristian dan yahudi.

Tabur Bunga di Kubur adalah dari amalan Islam, diamalkan muslimin sedunia, dan maktub dalam teks muktabar fikah mazhab . Kalau bukan dari amalan Islam, kenapa wujud dalam fatwa Ilmu Fekah sudah sebegitu lama ?.

2 buah kitab yang jadi rujukan utama para penuntut dan ulama dibidang fekah mazhab Shafie.

pertama : I'anatutthoolobin juzuk 2 mukasurat 119.

kedua: Kasful Litham, juzuk 1 , mukasurat 82.

Soalan 1: Ustaz, mohon pencerahan. Bukankah Nabi s.a.w tutup pakai pelepah tamar? Di sini tiada pohon tamar.Kalau pakai hukum qias, guna pelepah kelapa atau sawit. Atau tak perlu letak apa2 untuk elakkan salah faham. Maaf ustaz.

Jawab: Menurut Sheikh Ibn Hajar dalam kitab Fatawa al Kubro beliau seperti yang dinukil dalam kitab I'anah al thoolibin  dimuka surat yang dipaparkan gambarnya itu  memang termasuk yang diqiyaskan dengan pelepah tamar adalah sebarang dahan, ranting kayu ataupun  pelepah kelapa/sawit untuk dipacak/tanam diatas kubur.

Kalimat- غرس- bermakna pacak/tanam atau sebarang cara yang lain. Dalam kitab Bahrul Maazi- Komentar Hadis Jamik Sunan Tarmizi ,  karangan Sheikh Marbawi juga ada disebut qiyas ini. Iaitu qiyas pelapah lainnya dengan pelepah tamar . Guru saya berkata:  Pelepah kelapa lebih hampir menyerupai pelepah tamar. Wallahu a'lam.

Soalan 2: Ada pulak orang berkata, dalam kitab itu kata pacak/tanam, tentulah sesuai untuk kayu, kenapa pulak ditabur bunga, tidak munasabah jika qiyas bunga kepada pelepah tamar?. Sudah tentu qiyas itu tidak sah?.

Jawab: Begini . Apabila kita sudah benar-benar  faham konsep qiyas yang sah diamalkan dalam ilmu Ushul Fiqah, tentu akan mudah bagi kita menerima  keputusan  ulama dalam teks Fathul Muin dan I'anah tersebut. Bagaimana pula?. Fahamilah,  bunga diqiyaskan kepada pelepah tamar,  maksudnya apabila pelepah tamar sunat  dipacak atas kubur maka bunga  juga dihukum sunat ditabur atas kubur .  sebabnya (illahnya) diqiyaskan kepada pelepah tamar atas dasar bersatu makna (illah) antara keduanya. Makna tersebut  ialah faedah Tasbih dari keduanya. Maksudya pelepah tamar bertasbih, bunga juga bertasbih. maka disamakan hukum keduanya sebab mempunyai persamaan , iaitu tasbih.

Kalau begitu kenapa pula ditabur bunga  tidak pacak?. JAWABNYA: Munasabah kuntum-kuntum bunga - tabur.. mana boleh bunga  dipacak pacak ?. kalau boleh dipacak .. haa pacak lah.. tak letih?.

Pondoktampin.

Teguran Ikhlas Untuk Teman-Temanku Ahlus Sunnah

$
0
0
Teguran Ikhlas Untuk Teman-Temanku Ahlus Sunnah

Ada yang berkata lebih baik kami DIAM dan menjaga lisan kami dari menuding kesalahan kepada WAHHABI dan bertelagah sesama mereka. Persoalannya, kita bukannya nak bergaduh atau berpecah-belah. Ini soal isu AQIDAH dan prinsip sejati Ahlus Sunnah Wal Jamaah. DIAM kita dengan membiarkan orang-orang awam mengikuti fahaman WAHHABI dan kesannya orang-orang tersebut ekstrem dan kita boleh lihat nada tulisan, kuliah serta fb mereka yang akhirnya penuh dengan cacian, penipuan dan kata dusta. Adakah DIAM itu membantu? Ini dikira kita membiarkan saudara-saudara kita diracuni pemikiran mereka dengan fahaman yang sempit ini. Ini bermaksud kita adalah seorang yang zalim membiarkan kerosakkan dan kejahilan di tengah-tengah masyarakat kita.

Kita nak menerang bukannya nak menyerang. Saya sendiri akan menegur dan memadam sekiranya kawan atau lawan menulis satu post ayat yang tidak elok atau memburukkan peribadi seseorang. Kita Ahlus Sunnah, bukannya nak memunahkan kehidupan orang.

Pernah berlaku satu kes di Negeri Sembilan Darul Khusus. Isunya adalah berlakunya satu kematian dan adiknya sedang membaca surah Yasin di jenazah ibunya. Abangnya yang diresapi fahaman Wahhabi ini telah melarang adiknya dan orang ramai dari membaca surah Yasin itu ke atas jenazah ibunya atas alasan bidaah. Maka berlaku satu pertengkaran sehingga peringkat abangnya itu mengambil parang dan nak memarang adiknya atas perkara khilaf begini. Kes ini sungguh menyayat hati. Apatah lagi tidak wajar di hari kesedihan sampai nak parang-memarang.

Begitu bahayanya fahaman WAHHABI ini mempengaruhi seseorang sehingga ke tahap ini. Banyak contoh dan bukti-bukti yang tak dapat saya nak tuliskan di sini. Mujur, Negeri Sembilan Darul Khusus telah mengharamkan fahaman dan segala kegiatan WAHHABI di negeri ini. Yang boleh masuk ke negeri ini orang yang bernama Abdul Wahab, Abdul Wahub dan Abdul Wahid. Fahaman ekstrem tak boleh masuk. Kalau ada agamawan yang membawa fahaman WAHHABI masuk ke negeri ini, pihak berkuasa akan mengambil tindakan. Berani buat berani tanggung. Jangan tahu nak larang ulama'-ulama' Ahlus Sunnah sahaja masuk ke negeri kamu. Bila nama kamu naik disenaraihitamkan, tiba-tiba kamu rasa nak marah dan tidak pernah berbuat salah malah terasa pula kamu dianiaya.

Kalau nak datang makan lemak cili padi, saya sendiri boleh belanja. Tapi kalau kamu sebut fahaman WAHHABI, jawapnya kena cili padilah mulut kamu itu.

Sekitar 10 tahun lepas, negara ini aman damai. Politik yang tidak berapa keruh seperti sekarang. Masyarakat ketika itu tidak berpecah-belah dan budaya hormat masih tinggi dan ia tidak seperti sekarang.

Kita boleh lihat sikap dan akhlak seseorang itu melalui tulisannya. Pasti ada sifu atau idola yang mengajar mereka hingga ke tahap membidaahkan dan tidak mengiktiraf amalan itu yang bukannya jalan Al-Quran dan Sunnah. Sungguh kecil dunia fiqh mereka dan kitab-kitab yang mereka pelajari.

Apa tindakan kita sebenarnya?

Tindakan kita adalah menguatkan sekolah-sekolah, kolej-kolej, universiti-universiti dengan pegangan sejati Ahlus Sunnah Wal Jamaah.

Bak kata ulama'-ulama Patani: "Jangan beri anak-anak kamu berkawan dengan WAHHABI". Sampai peringkat demikian mereka tidak ingin mencampurkan antara putih dan hitam. Ini kerana mereka telah lihat kesannya dari dulu hingga sekarang.

Sekali kita beri mereka ruang, mereka akan mengambil kesempatan itu dengan selaju-lajunya. Akhirnya akan berdiri megah UNIVERSITI mereka nanti. Ahlus Sunnah pula akan asyik di padang sahaja dan tempat lapang. Begitu hebat strategi mereka berbanding kita semua.

Jangan kelak generasi akhir zaman Ahlus Sunnah Wal Jamaah di negara ini memikirkan dan menyoalkan apa tindakan yang generasiku buat sebelum ini? Tidakkah mereka memikirkan kesan dan betapa bahayanya WAHHABI?.

Sejarah telah merakamkan bahawa Mekah dan Madinah ketika dahulu milik umat Islam keseluruhannya. Disuburkan dengan halaqah-halaqah ilmu yang diajar oleh ulama'-ulama' hebat dan unggul ilmunya. Di antaranya:

1. Syeikh Hasan Masyhat
2. Syeikh Muhammad Yasin al-Fadani
3. Sayyid Alawi bin Abbas al-Maliki
4. Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki
5. Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan al-Hasani

Dan banyak lagi yang tidak dapat disebutkan di sini.

Adakah masih ada lagi halaqah-halaqah ulama'-ulama' kita di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi di hari ini? Mengapa tiada dan apa puncanya? Sebabnya adalah WAHHABI. Hanya tokoh-tokoh WAHHABI sahaja dibenarkan mengajar dan membuka halaqah di sana. Ulama'-ulama' kita terpaksa membina madrasah yang tak berapa besar di tanahair mereka sendiri. Masih kita buat-buat tak nampak dan faham lagi? Yang sedih, ada ulama' kita diarahkan sekolahnya ditutup di sana. Inikah WAHHABI yang dikira Ahlus Sunnah Wal Jamaah?

Kalau WAHHABI itu diiktiraf sebagai Ahlus Sunnah Wal Jamaah? Habis, ulama'-ulama' kita bukannya Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Mereka tidak dibenarkan mengajar dan membuka halaqah sehingga hari ini di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. WAHHABI kata mereka menghormati 4 mazhab. Ulama'-ulama' kita bukannya dari 4 mazhab? Kenapa berlaku sedemikian. Ini kerana mereka tidak pernah hendak mengiktiraf keilmuan sejati ulama'-ulama' yang berpegang teguh dengan Asya'irah dan Maturidiyyah. Walau apa alasan, tetap bau WAHHABIMU kuat. Walaupun kalian berserban, berjubah mahunpun berselendang.

ILMU kami dapat membau dan menghidu perancangan kalian.

Baik-baik teman Ahlus Sunnah. Jangan terlalu gembira dengan jumlah yang ramai. Dulu kita ramai di Mekah dan Madinah. Sekarang ulama'-ulama' kita asing di sana. Bertindak dengan ILMU, jangan harap semangat sahaja.

Mohon maaf sekali lagi

Ustaz Ahmad Lutfi bin Abdul Wahab Al-Linggi
Sabtu 30 April 2016
12.40 pagi
Kota Damansara.

Berpeganglah dengan Majoriti Ulama untuk kita selamat!

$
0
0
Berpeganglah dengan Majoriti Ulama untuk kita selamat!

Banyak ajaran sesat yang muncul bila mereka menyisih daripada pandangan majoriti ulama samada dalam akidah, fiqih mahupun tasauf.

Secara jelas Rasulullah SAW bersabda:

إنّ أمّتي لا تجتمع على ضلالة فإذا رأيتم الإختلاف فعليكم بالسواد الأعظم

"Sesungguhnya umat aku (umat Islam) tidak akan berhimpun dalam kesesatan. Jika kamu melihat perselisihan (dalam kalangan mereka), maka hendaklah kamu mengikuti sawadul a'zhom. Sesungguhnya, sesiapa yang terasing, maka dia akan terasing dalam neraka" (Hadith riwayat Abd bin Hamid dan Ibn Majah).

لا تجتمع هذه الأمّة على ضلالة أبداً، وإنّ يد الله مع الجماعة فاتبّعوا السواد الأعظم، فإنّ من شذّ شذّ في النار

Maksudnya: Tidak akan berhimpun umat dalam kesesatan selamanya. Sesungguhnya yadd (bantuan) Allah s.w.t. bersama dengan Jamaah. Maka, ikutilah As-Sawadhu Al-A'zhom. Sesiapa yang terpinggir, maka dia terpinggir dalam dalam neraka. (Hadith riwayat Al-Hakim, Abu Na'im dan melalui jalan Al-Dhiya' Al-Maqdisi daripada Ibn Umar)

Pembawa ajaran sesat biasanya, mereka guna Quran dan hadis seumpama:

بدأ الإسلام غريبا سيعود غريبا فطوبى للغرباء

Bererti: Islam bermula sebagai asing, akan kembali asing, maka beruntunglah orang-orang yang asing.

Lantas mereka mempertahankan kesasatan mereka dengan hujah, kalu kita pelik pun tidak apa-apa sebab memang diisyaratkan begitu oleh Rasuilullah SAW. Beginilah aliran pelik-pelik berkembang.

Walhal, ulama mengatakan hadis ini bermaksud, asing kerana kurang orang beramal walaupun pegangan majority sudah benar. Lihatlah perkataan Imam As-Sindi dalam mensyarahkan hadith Al-Ghuraba’ dengan berkata:

بِقِلَّةِ مَنْ يَقُوم بِهِ وَيُعِين عَلَيْهِ وَإِنْ كَانَ أَهْله كَثِيرً

Maksudnya: “((Akan kembali asing)) dengan sedikitnya orang yang mendirikannya (mengamalkannya) dan membantunya walaupun ramai ahlinya (penganut agama Islam).”

Maka, berpeganglah kita dengan majoriti ulama samada dalam akidah, fiqh mahupun tasauf. Mazhab imam-imam mazhab bermula dari zaman Salaf dan sudah dihuni oleh ribuan para mufassirin dan para muhadithin, berbanding golongan yang mencipta mazhab baru atau mazhab rojak diambil di sana sini! Untuk memudahkan ajaran sesat menyelit, rungkaikan keyakinan umat dan kecintaan umat daripada menyintai jalan majoriti ulama!

Allahu al-musta’an.

Penulis : Prof Madya Dr Asmadi Bin Mohamed Naim

JAMU ORANG MAKAN MASA KENDURI ARWAH AMALAN SAHABAT

$
0
0
JAMU ORANG MAKAN MASA KENDURI ARWAH AMALAN SAHABAT

1) Di dalam Sohih Muslim disebutkan bahawa apabila berlaku kematian ahli keluarga Sayyidatuna Aisyah,beliau akan menyuruh membuat kuah tepung dicampur madu,lalu dituangkan ke bubur dan beliau menyuruh keluarga dan orang2 terdekatnya makan

2) Al-Hafiz IBNU HAJAR AL-ASQALANI menyebutkan di dalam kitabnya Al Matholib al-'Aliyah bi Zawa'id al Masanid ath Thamaniah,5/328;bahawasanya ketika hampir meninggal dunia,Sayyidina Umar al-Khattab berwasiat supaya orang yang datang mengucapkan takziah diberi makan.

Kelompok Besar (al-Sawad al-a'zam), Orang Asing (al-Ghuraba') dan Kebenaran

$
0
0
Kelompok Besar (al-Sawad al-a'zam), Orang Asing (al-Ghuraba') dan Kebenaran

[1] Kelompok minoriti tidak semestinya terpuji, betul, dan di jalan yang benar. Jangan ingat hanya kerana Allah SWT banyak menyebut, memuji golongan sedikit, mafhum: "sedikit di kalangan hambaKu yang bersyukur...(QS Saba':13)" ; "berapa banyak kumpulan sedikit mampu mengalahkan kumpulan besar..." (QS Al-Baqarah:249)  atau Nabi SAW memuji, mafhum: "beruntunglah mereka yang asing (al-ghuraba') maka kita pun merasakan golongan "sedikit" itu terpuji lalu ingin menjadi kelompok yang kecil atau minoriti. Kelompok seperti ISIS,  Qadiani, Ayah Pin,  pun semuanya sedikit dan minoriti tetapi mereka semua bathil dan ajaran mereka sesat dan menyesatkan. Ajaran sesat hari ini semuanya minoriti.

[2] Yang ramai atau majoriti juga tidak semestinya betul. Agama Kristian mempunyai 2.2 billion penganut di seluruh dunia manakala ajaran Islam dikatakan sekitar 1.6 billion saja. Bukan bermakna ajaran Kristian itu benar walaupun majoriti.

[3] Lalu bagaimana sikap kita dan cara memahaminya? Maka hendaklah kita melihat konteksnya bila ketikanya kelompok kecil dipuji dan bilakah pula kita disaran bersama golongan majoriti yang berada di atas jalan kebenaran.

[4] Golongan sedikit yang dipuji ialah mereka yang benar-benar beramal dengan ajaran Islam dan hakikat hari ini mereka yang beramal dengan Islam dengan sesungguhnya jauh lebih sedikit berbanding dengan umat Islam yang pada nama saja. Tengok perbandingan  jumlah mereka yang ke masjid dan ke tempat-tempat hiburan sudah cukup untuk mendapat gambaran awal itu. Ini kerana jalan ke Neraka itu disukai nafsu seperti mana hadith dari Anas bin Malik RA  bahwasanya Rasulullah SAW bersabda,

حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ

“Syurga itu diliputi perkara-perkara yang dibenci dan neraka itu diliputi perkara-perkara yang disukai syahwat.”(HR. Muslim)

[5] Tetapi dalam memilih untuk  beramal dan mengambil hukum hakam, kita diperintahkan untuk mengikut pandangan ramai atau pandangan majoriti. Majoriti siapa? Bukan majoriti orang awam Tom, Dick and Harry (Pak Mat atau Mak Timah), tetapi ahli ilmu, ulama yang benar di kalangan mujtahid yang dipanggil "al-Sawad al-azam". Sebab itu ada istilah "ijma" dan "ittifaq" yang merujuk kepada pandangan ramai atau kesepatan mujtahid dan ulama. Kita ditegah mengikut pandangan ganjil, pelik, berseorangan (isolated) atau disebut "syaz". Ini menunjukkan minoriti tidak semestinya betul dan terpuji sepanjang masa.

[6] Ambil contoh memakan "daging khinzir". Ijma' ulama menghukumkan khinzir haram dimakan mana-mana bahagian sekalipun. Tetapi ada pandangan pelik, ganjil (syaz) yang mengatakan yang haram dimakan hanya "daging" (لحم) khinzir saja kerana kata mereka ayat atau hadis yang melarang menyebut spesifik "daging khinzir", adapun bahagian khinzir yang lain (seperti perut, lemak, tulang babi dll) boleh dimakan. Ini pandangan pelik menyalahi Ijma' dan kita ditegah mengikutinya. Mahukah kita memperjudikan agama kita dengan mengikuti pandangan minoriti sebegini? Ini bukan soal memilih pemimpin politik tetapi memilih fatwa dan hukum hakam untuk beramal di dunia yang kesilapannya akan membawa kesengsaraan berpanjangan di Akhirat kelak. Silap memilih pemimpin politik, 5 tahun sekali boleh ditukar.

[7] Perintah untuk bersama dengan pandangan majoriti ulama ramai (bukan majoriti orang awam) banyak disebutkan dalam al-Qur'an dan al-Hadith. Antaranya Sabda Baginda SAW, mafhumnya:
إنّ أمّتي لا تجتمع على ضلالة فإذا رأيتم الإختلاف فعليكم بالسواد الأعظم
 "Sesungguhnya umat aku  tidak akan berhimpun dalam kesesatan. Jika kamu melihat perselisihan (dalam kalangan mereka), maka hendaklah kamu mengikuti kumpulan terbesar (al-sawadul a'zam). (HR Ibn Majah).

[8] Lalu apa yang harus diajar kepada masyarakat awam? Ajarlah mereka agar bersama dengan pandangan majoriti ulama Ahlul Sunnah wal Jamaah kerana itulah lebih selamat dan hampir mustahil majoriti ulama yang ikhlas itu tersalah atau berpakat dalam kebathilan. Dalam masa yang sama ingatkan mereka kuatkan semangat kerana ketika kita beramal dan berpegang teguh dengan ajaran Islam itu, pasti kita akan terasa terasing, minoriti kerana tidak ramai manusia di sekeliling yang mentaati Allah SWT, melawan hawa nafsu sedangkan ramai yang lebih suka mengikut hawa nafsu mereka.

[9] Kesimpulannya, beramallah dengan apa yang disepakati oleh majoriti ulama (al-sawad al-a'zam) walaupun mungkin akhirnya kita hanya menjadi minoriti (al-ghuraba')  di dunia akhir zaman yang semakin rosak yang majoriti penghuninya tidak lagi berpegang dengan kebenaran, ajaran Islam dan lalai daripada mengingati Allah SWT. Wallahu'alam.

Dr Nik Roskiman

ULAMA WAHABI MENSAHIHKAN HADITH KENDURI ARWAH YANG MENUNJUKKAN LAFAZ 'WAKIL ISTERI MAYAT

$
0
0
[ ULAMA WAHABI MENSAHIHKAN HADITH KENDURI ARWAH YANG MENUNJUKKAN LAFAZ 'WAKIL ISTERI MAYAT']

menurut ulama yang menjadi rujukan wahabi sekluruh dunia, iaitu  Albani, mengenai hadith dalam kitab Misykatul Mashobih karangan Muhammad Abdulloh Al Khothib al Tibriziy cetakan Beirut dengan tahqiq : Muhamad Nasrudin Al-Bani, dia menshohihkannya serta menggunakan lafadz yang menunjukkan bahawa wanita tersebut adalah isteri dari lelaki yang meninggal :

مشكاة المصابيح - (ج 3 / ص 292)
 5942 - [ 75 ] ( صحيح ) وعن عاصم بن كليب عن أبيه عن رجل من الأنصار قال خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على القبر يوصي الحافر يقول : "أوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه "فلما رجع استقبله داعي امرأته فأجاب ونحن معه وجيء بالطعام فوضع يده ثم وضع القوم فأكلوا

Ertinya : Kami bersama Rasulullah saw., keluar menuju pemakaman jenazah, sewaktu hendak pulang muncullah isteri mayat mengundang untuk singgah kemudian ia menghidangkan makanan. Rasulullah saw., pun mengambil makanan tersebut dan mencicipinya(menyantapnya), kemudian para sahabat turut mencicipi (menyantapnya) pula”.

Link : http://islamport.com/d/1/alb/1/81/677.html

Dalam hadits ini disebutkan kata daa`i imroatih (داعى امرأته) (pengundang dari isteri mayat) bukan dengan kata داعى امرأة .
Hadits ini menurut ulama wahabi, Al-Bani adalah Shoheh (داعى امرأته)

- Ustaz Dodi ElHasyimi

AMALAN-AMALAN DI KUBUR MENURUT ULAMAK AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH

$
0
0
AMALAN-AMALAN DI KUBUR MENURUT ULAMAK AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH

Persoalan :

1. Hukum Ziarah Kubur
2. Ziarah kubur pada hari dan waktu tertentu
3. Membaca al Quran di Kubur
4. Mengusap di Kubur
5. Bertawassul
6. Meletakkan bunga dan menyiram air di kubur

Jawapannya di sini :

https://www.facebook.com/SunniMalaysia/posts/859390294126113:0

Persoalan :

1. Hukum membaca Surah Al Fatihah kepada orang yang telah meninggal dunia

Jawapannya di sini :

https://www.facebook.com/SunniMalaysia/photos/a.149616235103526.33239.149551445110005/611468442251634/

Persoalan :

1. Hukum binaan di kuburan

Jawapannya di sini :

Gambar-gambar binaan kubur di ma'la di Mekah , baqi' di Madinah dan hukum binaan di kubur :

1. https://www.facebook.com/SunniMalaysia/posts/862395130492296

2. https://www.facebook.com/SunniMalaysia/posts/686777904720687

Persoalan :

1. Hukum Mengambil Upah Membaca al Quran

Jawapannya di sini :

https://www.facebook.com/notes/kami-tidak-mahu-fahaman-wahhabi-di-malaysia/hukum-mengambil-upah-membaca-al-quran/348860045179143

Persoalan :

Hukum membaca talqin

Jawapannya di sini :

1. Jawapan Ustaz Abu Muhammad : http://bahrusshofa.blogspot.my/2008/12/talqin-raudhatuth-tholibin.html

2. Status Hadith mengenai talqin :

http://jomfaham.blogspot.my/2010/05/kedudukan-hadits-talqin-setelah-dikubur.html

3. Ulamak di dalam 4 mazhab membolehkan membaca talqin

http://jomfaham.blogspot.my/2008/12/hukum-membaca-talqin-2.html

P/S : Kami dapat whatsapp sedang disebarkan senarai amalan bid'ah di kubur oleh Wahhabi yang katanya diperolehi dari  'ijtihad' MAZA tentang talqin dan juga Rozaimi bertajuk mengajak ummah ke arah 'sunnah'.

Pengikut ajaran ini mengajak uruskan jenazah mengikut cara Nabi ? Mereka lihat dengan mata kepala sendiri ke bagaimana Rasulullah sallalLahu 'alaihi wasallam mengurus jenazah dan bagaimana para sahabat mengurus jenazah Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam ?

Jika jawapannya tidak. Maka kita memerlukan ulamak yang memahami al Quran, hadith, ijmak dan qiyas untuk istinbath hukum. Serahkan urusan kepada ahlinya.

Sekiranya ada yang mengatakan ulamak tidak maksum. Maka adakah kedua-dua insan berkenaan adalah maksum ?

Kembalilah kepada al Quran dan as sunnah dengan kefahaman yang sahih.

 
Viewing all 343 articles
Browse latest View live